Monday, December 6, 2010

PADANG GURUN DALAM HATI

MINGGU ADVEN II TH. A Yesaya 11:1-10 Roma 15:4-9 Matius 3:1-12

Pada suatu liburan saya mengunjungi saudara saya. Di rumahnya saya berjumpa dengan anaknya, keponakan saya yang berumur 14 tahun, sedang duduk di ruangan, sebuah buku di tangan dan sepasang headset menempel di kupingnya. “Hai, lagi ngapain?” saya menyapanya. “Hai uncle, saya lagi belajar nih, ada ulangan besok,” sahutnya! Saya hanya bisa berpikir di dalam hati, zaman memang sudah berubah... dulu kalau kita mau belajar kita mencari waktu dan tempat yang hening; sekarang anak-anak tidak bisa belajar tanpa musik yang main di belakang!

Pada Minggu kedua Adven ini, Tuhan mengajak kita ke suatu tempat yang istimewa: ke padang gurun. Orang-orang pergi ke padang gurun untuk mendengarkan Yohanes Pembaptis. Tuhan ingin agar kita juga ke padang gurun. Bukan yang di Yudea, tetapi yang lebih dekat lagi: padang gurun dalam hati manusia. Padang gurun itu adalah suatu tempat yang bebas dari segala gangguan, suatu tempat dimana orang bisa bersendirian dengan Tuhan. Kata lain untuk padang gurun adalah “keheningan.” Dalam keheningan kita akan berjumpa dengan Tuhan, dan dengan menemukan-Nya, kita akan menemukan diri kita sendiri.

Keheningan... tanpa gangguan sama sekali... itu sangat “mahal” zaman ini dan tidak mudah untuk ditemukan. Kita dikelilingi oleh keberisikan – terutama segala info-media dan periklanan yang senantiasa menarik perhatian kita! Masa liburan Natal seperti ini biasanya berisik bukan main! Sri Paus Benediktus sendiri pernah berkata “Kita tidak bisa mendengar Tuhan lagi – terlalu banyak bunyi dan gelombang memenuhi telinga kita!”

Masalahnya, kita tidak hanya dikelilingi keberisikkan – justru kita mencarinya! Kitalah yang memilih untuk menghibur diri dengan menghidupkan TV, menonton film DVD, membuka internet atau memasang headset MP3 player ke kuping kita. Berjalannya waktu tak terasa lagi jika kita sibuk dengan sesuatu yang sungguh menghibur kita. Ironisnya, apabila kita mencoba untuk berdoa, lima menit itu sudah seperti lima jam! Kita mulai memikirkan sesuatu yang sebenarnya telah kita lupa untuk lakukan. Pada hal tak pernah kepikir saat kita asyik main internet, tapi tiba-tiba menjadi sesuatu yang mendesak dan tak bisa diabaikan lagi! Tidak mudah itu pergi ke padang gurun. Saya sendiri tahu dan mengalaminya. Ada sesuatu disana yang membuat kita takut untuk masuk dalam keheningan.

Satu alasan kita menghindarinya adalah kita tidak mau manghadapi keadaan kita yang sebenarnya. Bukan hanya kekurangan dan keterbatasan kita sebagai manusia biasa, tetapi suatu hal lain lagi. Ada sesuatu di dalam diri kita yang tidak beres. Kita telah mengambil jalan yang salah dan kita sesat. Ujung-ujungnya... DOSA. Oleh karena itu, kepada orang-orang itu yang pergi ke padang gurun, kata pertama yang diucapkan Yohanes Pembaptis adalah, Bertobatlah! Kata itu berarti, “Rombaklah mentalitasmu; pakailah pola pikiran yang baru.”

Tidaklah mudah merubah pola pikiran. Itu berarti siap merubah pola hidup! Kita mulai dengan pertama-tama berani pergi ke padang gurun. Carilah waktu pada Masa Adven ini untuk hening sejenak di tengah-tengah keramaian dan keberisikan. Itu dapat membuat kita sadar akan kedosaan kita – dan bagaimana dosa itu telah memisahkan kita dari Tuhan. Keheningan. Kedosaan. Pertobatan. Kedatangan Tuhan dalam hati kita. Itu baru Adven! (Romo Noel SDB )

Sunday, November 28, 2010

KEHENINGAN YANG MEMBANGUNKAN

MINGGU ADVEN I TH. A Yesaya 2:1-5 Roma 13:11-14a Matius 24:37-44

Saya pernah dengar sebuah kesaksian dari seorang pemudi, Crystalina, yang mengalami pertobatan sejati dengan meninggalkan hidup yang lama dan kembali kepada Kristus. Di saat remaja, hobi dan kesukaannya adalah berpesta. Nah pesta disini yang bermaksud music, food and fun. No problemo. Masalahnya adalah kadang-kadang yang namanya pesta itu bisa kehilangan kendali. Ada saat-saat Crystalina pulang dari pesta merasa sedih, hampa, dimanfaatkan – bahkan kotor! Pada suatu saat, setelah salah satu pesta, dia tidak langsung pulang. Entah bagaimana, dia tiba-tiba ingin mampir ke gereja, dan dalam kesunyian dan keheningan itulah, Tuhan berbicara kepadanya. Dia mengambil keputusan untuk merubah gaya hidupnya.

Kemudian dia melakukan sesuatu yang agak aneh. Dia menulis surat kepada calon suaminya. Sesuatu yang aneh memang karena pada saat itu, dia belum berpacaran secara serius, apalagi bertunangan! Walaupun Crystalina belum mengetahui siapakah yang akan menjadi suaminya nanti, dia yakin bahwa – setelah Tuhan – pria itu akan menjadi orang yang paling penting dalam hidupnya! Kemudian ia mulai berdoa untuk dia, terutama di dalam Misa. Ia mulai mengikuti Misa harian dan bahkan ia dapat mengikuti sekitar seribu kali Misa dengan intensi mendoakan calon suaminya! Waktu ia berumur 24tahun, ia berkenalan dengan seorang pemuda, Jason Evert. Mereka jatuh cinta dan pada saat tunangan mereka, Crystalina menceritakan pada Jason soal seribu Misa itu. Pada saat itu Jason dapat mengerti dari manakah rahmat yang telah memeliharanya sehingga dia sanggup menghadapi tiap godaan selama itu. Jason dan Crystalina akhirnya menikah dan mempunyai beberapa anak. Mereka menjadi full-time dalam pelayanan, khususnya dengan memberi ceramah dan kesaksian kepada anak-anak muda tentang kesucian dan kemurnian.

Crystalina berjumpa dengan Yesus di saat hening. Yesus berbicara kepadanya dalam kesunyian di gereja itu. Pada Masa Adven ini sangat pentinglah kita menemukan waktu untuk hening. Kita tahu bagaimana masa persiapan ini cenderung menjadi saat-saat yang paling sibuk! Begitu banyak gangguan dan godaan dari iklan-iklan yang mengajak kita untuk beli ini-itu. Dunia ini sudah begitu berisik sehingga kita tidak bisa dengar Tuhan! Satu trick yang saya belajar sebagai seorang guru untuk menarik perhatian murid-murid yang sedang asyik berisik dan ngobrol adalah diam sejenak. Anak-anak tiba-tiba merasa ada sesuatu yang tidak beres, dan mereka kembali tenang. Keheningan itu telah “membangunkan” mereka! Sesuatu yang sama seperti itu harus terjadi kepada kita pada Masa Adven ini.

Kita butuh keheningan untuk bangun, dan berhenti berjalan dalam tidur. Kita butuh keheningan, terutama kesunyian di hadapan Sakramen Mahakudus; disitulah kita dapat berjumpa dengan Tuhan, bukan dalam pesta pora dan kemabukan... percabulan dan hawa nafsu... atau perselisihan dan iri hati.
(Romo Noel SDB)

Tuesday, November 23, 2010

Read the Pope's Condom Comments

Bishop Urges Faithful to Go to the Source, Not to Trust the Media

The bishop of Fargo is encouraging the faithful to not trust the media to interpret the words of Benedict XVI for them, and to read for themselves what the Pope has to say about condoms.

Bishop Samuel Aquila made these statements today in response to the flurry of reports over the weekend that suggested the Holy Father approved the use of condoms in some cases.

L'Osservatore Romano, the Vatican's semi-official newspaper, spurred the media activity Saturday when it published several excerpts from the book-interview with Benedict XVI titled "Light of the World," which is scheduled to be released Tuesday by Ignatius Press.

At the end of the tenth chapter of the book, the writer, German journalist Peter Seewald, asked the Pontiff two questions on the fight against AIDS and the use of condoms. Seewald referenced the Holy Father's comments on this topic while aboard the papal plane on the way to Cameroon and Angola in March, 2009.

To the charge that it's "madness to forbid a high-risk population to use condoms," Benedict XVI replied: "There may be a basis in the case of some individuals, as perhaps when a male prostitute uses a condom, where this can be a first step in the direction of a moralization, a first assumption of responsibility, on the way toward recovering an awareness that not everything is allowed and that one cannot do whatever one wants. But it is not really the way to deal with the evil of HIV infection. That can really lie only in a humanization of sexuality."

Seewald then asked the Pontiff, "Are you saying, then, that the Catholic Church is actually not opposed in principle to the use of condoms?"

The Holy Father replied, "She of course does not regard it as a real or moral solution, but, in this or that case, there can be nonetheless, in the intention of reducing the risk of infection, a first step in a movement toward a different way, a more human way, of living sexuality."

Bishop Aquila noted that the Church "has always celebrated the truth and beauty of human sexuality," and that an "unchanging part of that celebration throughout history is the Church's teaching that sexual expression must be open to life [... and] that sexual union within a marriage is between one man and one woman."

"Despite recent news articles which falsely construe the words of Benedict XVI to suggest otherwise," he added, "that teaching has not changed in any way."
No shift

"At issue here are the words of Pope Benedict XVI regarding condom use," the bishop continued. "The news stories and some of the comments solicited from the public would interpret his words as proclaiming a shift in the Catholic Church's teaching on condom use, and contraception in general. [...]

"This conclusion is incorrect as can be easily seen by examining the actual text from the book. The Holy Father is not condoning the use of condoms, but making an observation regarding the awakening of a sense of responsibility in the people who are caught up in the habitual sin of prostitution.

"He does not offer a new moral evaluation of the use of condoms, neither in principle nor practically in this circumstance, but is merely describing a psychological development as one, even in the grip of sin, can begin to acknowledge the safety and human dignity of another."

Bishop Aquila then urged the faithful and "all people of good will to
read the entire book."

"Do not depend on the media for your understanding of what Benedict XVI states," he said, "rather go to the source in order to find truth and not someone's misunderstanding and false interpretation of what was actually stated."

FARGO, North Dakota, NOV. 22, 2010 (Zenit.org)

Saturday, November 6, 2010

Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub

MINGGU BIASA KE-XXXII TH.C 2Mak 7:1-2, 9-14 2Tes 2:16-3:5 Lukas 20:27-38

Sekali lagi Yesus dihadapkan pada suatu masalah yang sepertinya tak ada solusi. Suatu kelompok Yahudi yang radikal, yakni orang-orang Saduki, datang kepada Yesus, sebenarnya bukan untuk membicarakan soal pernikahan, tetapi untuk mengemukakan keyakinan mereka yang bertantangan dengan ajaran Yesus mengenai kebangkitan dan hidup yang kekal. Mereka mengutip Nabi Musa untuk memperkuat posisi mereka melawan Yesus. Tapi Yesus menanggapi mereka dengan mengingatkan bahwa dalam perjumpaan itu dengan semak duri, Musa telah menyebut “Ya Allah,” yakni Allah dari tiga orang yang merupakan fondasi dari sejarah Israel, Abraham, Ishak dan Yakub. Allah itu bukan Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup (Luk 20:38). Kita bisa menaruh kepercayaan penuh kepada Allah sebab Dia bukan hanya Allah yang hidup tetapi juga Allah yang peduli dan bertindak.

Allah Abraham, Ishak dan Yakub. Sesungguhnya kata-kata itu memberi suatu wawasan yang begitu indah dan berdaya mengenai Allah. Dia bukanlah abstrak atau mujarad, seperti awan-gemawan mengambang di langit! Bukan, Allah peduli pada kita manusia dan sungguh terlibat dalam sejarah kita. Allah Abraham, Ishak dan Yakub. Itulah dasar utama dari harapan kita akan suatu Hidup di masa depan.

Seharusnya kenyataan ini dapat meneguhkan kepercayaan dan keyakinan kita di dalam segala kegagalan dan keputus-asaan yang sering kita alami. Waktu Columbus menyeberangi Samudera Atlantik, awak kapalnya sudah mau menyerah dan siap untuk balik! Pagi-pagi, mereka mendengar suatu seruan yang merubah segalanya, “Tanah! Tanah!” Apabila kita mau menyerah saja karena merasa gagal dan tidak sanggup lagi, kita perlu berseru pada satu sama lain dan pada hati kita, “Surga! Surga!” Tidak lama lagi. Maka setiap pencobaan atau pengorbanan pun menjadi sesuatu yang kecil!

Ada orang yang menganggap sikap ini seperti sifat mengalah, yaitu daripada berusaha untuk memperbaiki situasi di dunia ini, orang menghabiskan waktu dan menghibur diri dengan memikirkan tentang surga! Tapi kalau kita melihat sejarah, sebenarnya mereka yang memikirkan hidup surgawi itu biasanya juga adalah mereka yang melakukan banyak kebaikan terhadap sesama manusia di dunia ini. Sebut saja Fransiskus dari Asisi, Vinsensius A Paolo, Don Bosco, Mother Theresa, Sri Paus Yohanes Paulus II dan masih banyak lagi. Dimana-mana, rumah sakit, sekolah dan lembaga-lembaga yang paling menolong begitu banyak orang itu adalah mereka yang didirikan oleh orang-orang yang hidup sehari-hari berpengharapan pada hidup yang kekal.

Kita bisa percaya kepada Allah sebab Dia adalah Allah yang hidup, yang bertindak dan peduli dengan setiap kita. Dialah Allah Abraham, Ishak dan Yakub... dan kita.
(Romo Noel SDB)

Sunday, October 10, 2010

TERIMA KASIH

MINGGU BIASA KE-XXVIII TH.C 2 Kings 5:14-17 2 Timothy 2:8-13 Luke 17:11-19

Ada seorang yang datang ke restoran. Waktu dia sudah duduk, seorang mendekatinya dan mohon izin kalau dia bisa duduk di meja yang sama, karena tempat lumayan penuh. Sebelum orang yang tadi itu menyantap makanannya, dia bertanda-salib dan berdoa seperti yang sudah menjadi kebiasaannya. Setelah itu orang yang baru datang tadi bertanya, “Kamu sakit kepala?” “Oh tidak,” sahutnya. Orang itu bertanya lagi, “Ada masalah dengan makanan?” Dia menjawab, “Tidak, saya hanya mau bersyukur kepada Tuhan sebelum makan.” “Oh gitu,” jawab orang itu, “kalau saya sih ngga merasa harus begitu. Saya yang setengah mati bekerja keras untuk mendapatkan harta saya, dan saya tidak merasa harus berterima kasih kepada siapapun kalau saya mau makan! Ya saya langsung makan aja!” Dia pun kaget mendapat jawaban, “Oh kamu seperti anjing piaraan saya. Sikapnya persis sama seperti itu!”

Sepertinya banyak orang sikapnya persis seperti seekor anjing. Orang-orang seperti itu menganggap segala hasil yang mereka dapatkan dari kerja kerasnya itu adalah hak mereka, maka mereka merasa tidak harus berterima kasih kepada siapapun, termasuk Tuhan! Mereka lupa bahwa segala yang baik yang datang kepada kita itu semuanya adalah berkat kebaikan Tuhan! Pikirkanlah saja. Apakah yang telah seorang lakukan agar layak dilahirkan hidup, sementara ada yang dilahirkan mati atau digugurkan? Apakah yang telah kita lakukan untuk mendapatkan orang tua yang baik sedangkan ada yang tidak pernah mengenal orang tuanya? Apakah yang telah kita lakukan sehingga kita dilahirkan normal, sementara kita tahu ada yang dilahirkan cacat, tanpa tangan, tanpa kaki, buta, bisu dan sebagainya? Mungkinkah kita bisa membeli bakat dan talenta, kecerdasan dan kepintaran yang telah kita terima dari Tuhan? Betapa sering kita mengabaikan kebaikan Tuhan! Kita telah menjadi begitu biasa sering menerima berkat Tuhan sehingga kita lupa bersyukur dan berterima kasih!

Di dalam Injil, Yesus menyembuhkan sepuluh orang kusta. Hanya satu yang kembali untuk berterima kasih. Yang sembilan lain pada kemana? Saya mau berkhayal mereka itu omong apa sambil berjalan:
“Sebaiknya kita tunggu dulu dan pastikan penyembuhan ini beneran atau hanya sementara.”
“Masih banyak kesempatan nanti koq untuk ketemu Yesus lagi.”
“Tahu ngga, jangan-jangan itu sebenarnya bukan penyakit kusta loh.”
“Saya sih ngga pernah ragukan bahwa suatu saat kita pasti sembuh!”
“Tuh kan apa yang sudah saya katakan, yang penting pikir positif lah, pasti sembuh!”
“Yesus itu sebenarnya tidak berbuat apa-apa yang istimewa kan? Yang lain pasti bisa juga!”
“Nah kita sudah ok nih, apakah kita masih butuh Dia?”
“Kata Yesus kan kita harus pergi ke imam, hayo kita kesitu dulu baru kita kembali kepada-Nya.”
“Wah sudah sembuh nih! Berpesta yuk! Yang penting hepi!”


Ternyata dasar dari sikap tidak tahu berterima kasih itu adalah kesombongan dan egoisme. Saking kita mengandalkan diri sendiri sehingga kita tidak merasa lagi perlu uluran tangan siapapun, baik sesama manusia maupun Tuhan! Dalam pengalaman Yesus, dari sepuluh orang yang memperoleh penyembuhan, hanya satu orang yang kembali berterima kasih. Hanya sepuluh persen! Sesungguhnya di dunia ini ada dua macam orang, yang tahu berterima kasih dan yang tidak tahu. Kamu termasuk yang mana?
(Romo Noel SDB)

Monday, October 4, 2010

austraLasia #2725

25 years in Indonesia, celebrated with Mass, Music and an Autobiography

JAKARTA: 4 October 2010 -- ITM Indonesia closed its 25th year celebrations with a three-fold event. A solemn Mass to thank God for 25 fruitful years, a book to record a majority of those years and a musical drama to sing of the possibilities to come.
Although the visit of the Rector Major to Jakarta was the main event to mark the 25 years of the Salesians in Indonesia, There were other events awaiting.
October 1: a musical drama was presented by the youth of the St John Bosco parish in Jakarta, accompanied by the Parish Youth Orchestra. The 50 boys and girls sang and danced short anecdotes in the lives of Don Bosco, Dominic Savio and Michael Magone. It was presented in the Indonesian Language with the title: "Untuk Mu Segalanya" (Everything For You).
October 2: Saturday was the peak of the festivities with a solemn Mass celebrated by Fr Jose Carbonell, SDB and homily preached by the Superior of the Vice Province, Fr Joao Aparicio Guterres, SDB. All the five communities (Sunter, Tigaraksa, Sumba, Surabaya and Blitar) were represented and they participated in the launching of the autobiography of Fr Carbonell, depicting the 25 years of Salesian pioneering work in Indonesia. This book in the Indonesian language, was compiled by Mr. Laurence Suryanata, a Salesian Cooperator.

Saturday, September 25, 2010

BUKAN SOAL NASIB SIAL

MINGGU BIASA XXVI TH.C Amos 6:1, 4-7 1 Timotius 6:11-16 Lukas 16:19-31

Ada seorang yang saking yakinnya bahwa surga adalah tempatnya, setelah meninggal, dia langsung ngantre di depan pintu. Namun Santo Petrus memberitahunya bahwa namanya tidak tertulis di dalam Buku Kehidupan dan tempatnya adalah neraka. Langsung orang itu protes, “Masa? Ini tidak adil! Memangnya apa yang saya lakukan? Saya tidak melakukan apa-apa koq!” “Justru...” jawab Santo Petrus, “oleh karena itu kamu akan ke neraka!”

Seperti perumpamaan sebelumnya tentang bendahara yang tidak jujur, perumpamaan ini tentang Lazarus dan orang kaya juga cukup membingungkan. Kita pasti bertanya-tanya mengapa orang kaya itu harus dihukum dengan masuk neraka! Padahal dia kaya bukan karena korupsi atau kecurangan. Dia juga bukanlah penyebab kemiskinan dan keadaan Lazarus. Dia bukan orang penjahat atau perampok. Yang kita dengar dari ceritera adalah dia seorang yang menikmati makanan dan gaya hidup yang merupakan haknya sebagai orang yang kaya dan sukses! Mengapa dia masuk ke neraka?

Masalah yang kita hadapi mengenai alasan mengapa orang kaya ini mesti dihukum sampai masuk neraka sangat terpengaruh oleh pandangan kita mengenai dosa. Seringkali kita anggap dosa itu hanya dalam hal pikiran, perkataan dan perbuatan. Kita lupa bahwa kita juga bisa berbuat dosa dalam hal kelalaian. Bukankah itu yang kita akui tadi pada awal Misa ini? “Saya mengaku... bahwa saya telah berdosa dengan pikiran dan perkataan, dengan perbuatan dan kelalaian.” Perumpamaan ini merupakan peringatan yang keras bahwa dosa kelalaian itu dapat membawa kita ke neraka! Itulah pengalaman si orang kaya. Memang dia tidak melakukan apa-apa terhadap Lazarus. Tetapi juga dia tidak menolongnya. Dia gagal keluar dari kenyamanannya dan berbagi kelebihannya dengan seorang yang dalam kesulitan. Dosa kelalaiannya membawanya ke neraka.

Satu masalah lagi yang dapat kita hadapi adalah mengapa Lazarus masuk surga. Tidak ada kata-kata bahwa Lazarus ini “anak Tuhan” atau dia dikenal sebagai orang yang baik. Namun ada petunjuk. Di dalam Kitab Suci, nama-nama yang disebut seperti ini mempunyai makna yang menunjukkan karakter atau sifat seseorang. Sesungguhnya ini adalah satu-satunya perumpamaan Yesus dimana salah satu tokoh mempunyai nama. Berarti nama tersebut penting dalam menafsirkan perumpamaannya.

Nama “Lazarus” itu sama dengan nama dalam bahasa Ibrani “Eleazar” yang berarti “Tuhanlah Penolongku!” Berarti Yesus ingin menyampaikan bahwa Lazarus disini bukan saja seorang miskin dan kasihan, tetapi seorang miskin yang percaya dan sungguh mengandalkan Tuhan. Oleh karena itu setelah mati, ia lalu dibawa oleh malaikat-malaikat ke pangkuan Abraham (Lukas 16:22). Dia masuk surga karena iman dan kepercayaannya akan Tuhan, bukan hanya gara-gara dia miskin! Jadi ini bukan soal pembalikan nasib setelah kematian: orang kaya akan jadi miskin dan orang miskin akan jadi kaya! Jelas ini bukanlah pesan dari perumpamaan Yesus. Orang kaya yang peka terhadap penderitaan dan sengsara di sekitarnya dan menggunakan hartanya untuk melayani Tuhan dan sesama akan diberkati di dalam hidup yang kekal. Tetapi orang miskin yang menghabiskan hidupnya dengan mengeluh terus dan penuh dengan iri-hati, dan tidak bisa percaya dan berharap pada Tuhan seperti Lazarus, bisa saja gagal masuk surga! (Romo Noel SDB)

Saturday, September 18, 2010

GET SMART

MINGGU BIASA KE-XXV TH.C Amos 8:4-7 1 Timotius 2:1-7 Lukas 16:1-13

Seorang malaikat menampakkan diri di suatu pertemuan para guru sekolah dan berkata kepada Kepala Sekolahnya, “Hai hamba yang baik dan setia, aku diutus dari sorga untuk memberi kepadamu hadiah istimewa demi pelayananmu selama ini.” Kemudian sang Kepala Sekolah itu diberi tiga pilihan: harta dan uang yang berlimpah, popularitas yang luarbiasa atau kebijaksanaan yang sempurna. Tanpa ragu-ragu dia memilih hikmat dan pengertian. “Seperti halnya Raja Salomo,” dia berkata di dalam hatinya. Maka dengan sekejap malaikat melakukan sesuai dengan permintaannya itu dan ia pun menghilang. Semua guru-guru yang hadir memandang sang Kepala Sekolah yang sedang duduk di depan dan disinari dengan aura kebijaksanaan! Akhirnya salah satu guru berbisik kepadanya, “Pak, silahkan katakan sesuatu.” Sang Kepala Sekolah mengangguk dan berkata, “Harusnya saya memilih harta dan uang ya!”

Kebijaksanaan, dalam arti kelincahan atau kecerdikan, seperti yang kita lihat di dalam perumpamaan tentang bendahara yang tidak jujur itu, bukanlah suatu tujuan tersendiri. Orang bisa pintar tapi dia bisa menggunakan kecerdasannya itu untuk melakukan kejahatan. Misalnya banyak orang Indonesia hebat dalam bidang Kimia, Fisika atau Teknologi, dan memanfaatkannya untuk merakit bom-bom yang dipakai untuk terorisme dan membunuh banyak orang yang biasa dan tak bersalah! Manusia bisa menyalah-gunakan kecerdasannya dan menyebabkan kesedihan dan kekacauan di dunia.

Dengan perumpamaan-Nya, Yesus mengajak kita untuk menjadi cerdas dalam mencari Kerajaan Allah sama seperti orang-orang tak beriman yang lincah dalam mengejar ambisi pribadi dan mencari keuntungan duniawi. Yesus menggunakan ilustrasi seorang pengelola yang cerdik dalam perusahaan bosnya untuk mengajar kita menjadi cerdas dalam pelayanan Tuhan. Yang jelas Dia ingin kita meneladani kecerdasan bendahara itu, bukanlah ketidak-jujurannya! Bendahara yang tidak jujur itu dipuji oleh tuannya, karena ia telah bertindak dengan cerdik (Luk 16:8).

Kita dipanggil menjadi pengelola yang cerdik. Smart managers. Manager apaan? Bukankah Tuhan Allah telah menentukan Manusia sebagai pengelola segala ciptaan-Nya? "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi” (Kej 1:28). Kemudian Yesus menyerahkan Kerajaan Allah – Kerajaan Cinta Kasih, Keadilan dan Kedamaian – kepada kita sebagai orang-orang yang dapat mengelolanya. Perdamaian dan kesejahteraan di dunia serta pembaharuan segalanya dalam Kristus... ini semua adalah urusan kita! Yesus menyebutnya Kerajaan Allah. “Anak-anak dunia ini” memang lincah terhadap sesamanya dan tak peduli merusak segala rencana Tuhan. Saatnya untuk kita menjadi “anak-anak terang” yang cerdik demi Kerajaan Allah! Get smart. (Romo Noel SDB)

Saturday, August 7, 2010

LALU?

HARI MINGGU BIASA XIX TH. C Kebijaksanaan 18:6-9 Ibrani 11:1-2, 8-19 Lukas 12:35-40

“Saya punya rencana yang mantap untuk menjatuhkan manusia,” kata satu iblis kepada rekannya yang lebih senior. “Rencana saya adalah meyakinkannya bahwa Allah itu tidak ada.” Rekannya menjawab, “Itu mah lagu lama, tapi kurang efektif. Sekarang cukup bagi mahkluk itu melihat segala ciptaan di sekitar dan alam semesta dan ia pasti sadar Allah itu ada.” “Kalau begitu,” iblis yunior melanjutkan, “saya akan meyakinkannya bahwa tidak ada iblis.” “Mungkin itu lebih bagus sebagai strategi,” kata seniornya sambil menganggukkan kepala, “tapi percayalah, cukup bagi manusia itu melihat serta mengalami kejahatan sesama manusia dan pasti dia sadar akan keberadaan kita! Begini, saya kasih tahu strategi yang paling mantap...” dan para iblis yang lain pun mendekat supaya mendengarkan tips dari senior yang berpengalaman itu. “Kamu tidak perlu buang tenaga meyakinkan manusia itu bahwa tidak ada Allah atau pun iblis. Yakinkanlah dia saja bahwa ‘masih banyak waktu’ dan tak usah buru-buru!”

Jelas bahwa inilah strategi yang paling sering dipakai iblis untuk menjatuhkan manusia. Mayoritas orang masih percaya bahwa ada Allah yang Maha Pencipta; juga kebanyakan orang percaya akan iblis dan setan. Yang seringkali menjadi keberatan bagi manusia moderen adalah menerima bahwa ada hidup kekal setelah hidup duniawi! Manusia seringkali bertingkah seolah-olah masih banyak waktu, tak usah buru-buru, dan tak perlu mencemaskan kemanakah kita setelah meninggalkan dunia ini!

Maka Yesus mau merombak “kenyamanan” kita itu. Dan Dia menggunakan suatu ilustrasi yang sangat berani dan orisinil, khususnya bagi para kontemporer-Nya. Yesus menyamakan Allah itu kepada seorang Pencuri! Si perampok itu pasti selalu menunggu sampai orang-orang sedang tidak berjaga-jaga. Ia beraksi pas di tengah malam, di saat yang tidak disangkakan.

Sungguh Kristus bisa datang kapan saja. Dan bahwasanya Dia bisa datang seperti pencuri seharusnya membuat kita merenung, namun bukan dengan cemas apalagi terobsesi. Itu mengingatkan kita agar jangan sampai segala rencana kita itu berdasarkan hanya pada dunia ini saja! Seorang pemuda yang ambisius berkata kepada gurunya yang tua tapi bijaksana, “Saya ingin memperoleh banyak ilmu dan pengetahuan.” “Lalu?” sahut orang tua itu. “Lalu saya akan buka perusahaan.” “Lalu?” “Saya yakin saya akan jadi kaya-raya.” “Lalu?” “Ya jelas saya akan jadi tua juga tapi saya bisa menikmati dulu segala hasil usaha saya!” “Lalu?” “Hmm saya kira ya suatu saat saya juga akan meninggal dunia.” “Lalu?” Saat itu si pemuda tidak bisa jawab apa-apa lagi. Orang yang membuat banyak rencana berdasarkan hanya pada dunia ini saja suatu saat akan dikagetkan dengan Kematian.

Jadi merancang masa depan yang makmur dan merencanakan hari esok yang sejahtera itu boleh saja, asal jangan berdasarkan hanya pada dunia ini saja! Kita harus berani melihat lebih jauh lagi, “Lalu?” Dan seperti si pemazmur itu, Jiwa kita menanti-nantikan TUHAN. Dialah penolong kita dan perisai kita (Mazmur 33:20). Romo Noel SDB

Thursday, August 5, 2010

australasia

austraLasia #2686

New Pentecost in Surabaya

SURABAYA: 4 August 2010 -- "I'm proud of you!" That about sums up the feelings and sentiments of Fr Noel Villafuerte, parish priest of St. Michael, Tanjung Perak Surabaya, during the Confirmation Mass for some 47 parishioners last Sunday. St Michael's Parish, together with Blitar, in Surabaya, East Java, is the newest Salesian presence in Indonesia. On 18 April of this year, the Bishop officially installed Fr Noel as the parish priest, and St Michael's became the second Salesian parish in Indonesia, the first being S. John Bosco in Jakarta. From the solemn Mass, presided over by Bishop Vincent Sutikno, himself a son of the 49 year old parish and a self-confessed admirer of Don Bosco since childhood, to the simple but familiar reception in the parish multi-purpose hall, the well-coordinated activities went smoothly. In spite of the interrupted catechetical preparations being given by Fr Noel, as he had to be away for some 20 days to preach the annual retreat of the confreres in the Delegation of PNG-SI, the remaining three sessions of instructions were ably handled by some of the senior parish catechists.
Worth noting was the dialogue and open forum that the committee organized especially for the Bishop and the confirmands. Talk-shows in the celebrity world are the in-thing nowadays, and it was just creative of the organizers to provide this forum for the newly confirmed parishioners to ask the Bishop about "anything under the sun!", so from such topics as the practical meaning of being prophet, priest and king to even curious queries like the difference between our confirmation and the baptism of the Holy Spirit of the charismatics, the talk-show - aptly titled, An Hour With Our Bishop - indeed made the day.

Tuesday, August 3, 2010

MENJADI KAYA

MINGGU BIASA KE-XVIII TH. C Pengkotbah 1:2, 2:21-23 Kolose 3:1-5, 9-11 Lukas 12:13-21

Saya pernah mendapatkan sebuah kartu ucapan selamat hari ulang tahun dengan tulisan dari kitab Mazmur 90:12, “Sadarkanlah kami akan singkatnya hidup ini supaya kami menjadi orang yang berbudi.” Memang kalau saja kita menyadari setiap saat bahwa kapan-kapan kita harus meninggalkan dunia ini, dan bahwa ini bukanlah rumah kita yang sebenarnya, maka seperti si Pengkotbah itu, kita juga akan semakin yakin, Kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia.

Ayat tadi itu menyimpulkan tema bacaan-bacaan Minggu ini. Kesia-siaan dan kepura-puraan... itulah inti dari kehidupan sebenarnya. Mengetahui banyak hal, memiliki banyak harta, menjadi orang yang baik dan hebat... sesungguhnya tak ada faedahnya bagi manusia. Waktu dan kehidupan itu tetaplah berjalan, baik kita ada disini maupun kita tak ada lagi. Kesia-siaan itu bagaikan asap atau angin – menghilang begitu saja. Tak ada sesuatu pun sesungguhnya yang berharga atau penting. Orang bisa berusaha keras seumur hidupnya tapi setelah dia mati, semua hasil dan keuntungan bisa saja dinikmati orang lain yang sama sekali tidak pantas mendapatkannya.

Kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia. Dengan kata lain, “Kamu tidak bisa membawa apapun dengan kamu!” Ada seorang kaya-raya yang sungguh memahami kebenaran itu sehingga pada usia tuanya, sebelum ia meninggal, dia berpesan kepada anak-anak serta keluarganya, “Nanti saya ingin peti jenazah saya ada lubang di sebelah kanan dan kiri, dan kedua tangan saya dikeluarkan!” Tentu saja keluarganya begitu kaget mendengarkan permintaan yang aneh itu, maka ia menjelaskan, “Saya ingin supaya semua orang yang datang ke upacara pemakaman melihat bahwa saya yang begitu kaya selama saya hidup di dunia ini ternyata meninggalkannya dengan tangan kosong! Saya tidak bisa membawa apapun.”

Kamu tidak bisa membawa apapun dengan kamu, kecuali apa yang kamu telah rela bagikan. Injil Santo Lukas menekankan betapa pentingnya memilih yang terbaik, seperti Maria memilih untuk duduk di kaki Yesus dan mendengarkan-Nya sedangkan Martha memilih untuk sibuk melayani. Jadi ini bukan sekedar soal bahayanya harta duniawi melainkan bagaimana orang dapat memilih antara menjadi kaya di hadapan dunia atau menjadi kaya di hadapan Tuhan. Kita semua mempunyai harta yang kita hargai, entah berdasarkan perasaan, nilai materi atau pun sejarah. Masalahnya adalah bukan apa yang kita miliki, melainkan apa yang memiliki kita.

Orang bodoh di dalam perumpamaan Yesus merasa dirinya puas dan sukses, seolah-olah semuanya itu dari usaha tangannya sendiri, padahal panenan berlimpah itu adalah dari tanah. Dia sedang bersiap-siap untuk menikmati hidup yang santai dan makmur. Mungkin dia berpikir, tetangga-tetangganya akan lebih respek padanya, karena ekspansi bisnisnya luarbiasa dan nomor rekeningnya terus bertambah. Sampai dia lupa tentang kerapuhan hidupnya. Sepertinya dia bukan orang yang suka berbagi, apalagi memberi, maka jelaslah dia tidak bisa membawa apa-apa. Yang penting bagi orang ini adalah dirinya sendiri dan kenyamanannya. Perumpamaan ini tidak menceriterakan apakah orang bodoh itu kemudian ke surga atau ke neraka. Tujuannya ialah untuk mengingatkan kita bahwa hidup ini pendek dan rapuh, sehingga menjadi kaya pun itu adalah sia-sia bila kita tidak kaya di mata Tuhan.

Wednesday, July 21, 2010

MARTA VERSUS MARIA

MINGGU BIASA XVI TH C Kejadian 18:1-10 Kolose 1:24-28 Lukas 10:38-42

Seorang pastor menceriterakan pengalamannya saat membantu di paroki kampungnya saat dia sedang berlibur. Pastor Paroki di tempat mempunyai hanya satu permintaan dari padanya: tolong kotbah saat Misa singkat saja dan jangan panjang-panjang, sebab umat tidak punya banyak waktu! Maka dia selalu berusaha supaya homilinya tak pernah melebihi 10 menit. Tapi begitu kagetnya pada suatu saat diadakan di gereja paroki tersebut sebuah konser rohani. Setelah hampir tiga jam, umat dan para penonton masih belum puas dan bahkan meminta tambah lagi! Dia belum pernah melihat umat gereja itu begitu senang dan bersemangat seperti pada saat itu. Beberapa hari kemudian dia bertanya kepada Pastor Parokinya, “Mengapa umat kita bisa duduk diam untuk tiga jam lebih sambil menikmati konser rohani tapi mereka tidak bisa tahan jika mendengarkan Sabda Tuhan di dalam Misa?” Tak ada jawaban.

Kita mesti punya pengalaman pribadi dan personal dengan Tuhan dalam hidup kita, baru kita bisa mendengarkan Sabda-Nya dengan sukacita. Mewartakan Sabda Tuhan kepada orang-orang yang tidak mengenal-Nya secara pribadi dan tidak mempunyai hubungan yang personal dengan-Nya itu sama dengan membacakan puisi kepada orang yang tidak tahu apa-apa tentang puisi. Pasti mereka gampang jadi bosan dan ingin cepat-cepat pulang! Bagaimana caranya agar orang yang suka bosan dengan Sabda Tuhan itu bisa berubah menjadi senang dan bersemangat mendengarkan-Nya?

Kita bisa belajar dari pengalaman Marta dan Maria. Walaupun di dalam injil, yang disebut menerima Yesus hanyalah Marta, Seorang perempuan yang bernama Marta menerima Dia di rumahnya, jelas bahwa Maria, saudarinya, pasti senang juga menyambut-Nya. Namun sikap mereka setelah itu berbeda, Maria ini duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya, sedang Marta sibuk sekali melayani. Marta memilih untuk berdiri melayani para tamu; Maria memilih untuk duduk mendengarkan Yesus. Marta kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara; Maria tenang dan memfokuskan perhatian hanya kepada Yesus. Marta memilih apa yang menurut dia perlu; Maria memilih apa yang menurut Yesus satu saja yang perlu!

Yesus selalu mau dan senang datang kepada kita. Tapi tidak cukup menyambut dan menerima-Nya saja. Kita harus mau memilih untuk menemani-Nya dan duduk di kaki-Nya. Itu berarti hubungan yang pribadi dan personal dengan-Nya. Memang injil ini bukan soal “Marta versus Maria!” Kita tidak mau pusing dengan memikirkan, “Siapa yang lebih dekat dengan Yesus?” Dan dari cara Yesus menegur Marta, kita bisa membayangkan-Nya tersenyum penuh sayang sambil menyebut namanya dua kali, Marta, Marta.... Tapi jelas dua teman Yesus ini telah membuat pilihan masing-masing. Kelihatannya Yesus senang dengan pilihan Maria. Maria pun tidak menyesal, bahkan dia senang dan bersemangat mendengarkan Sabda Tuhan.
(Romo Noel SDB)

Sunday, July 11, 2010

ORANG YANG BAIK DAN ORANG SAMARIA YANG BAIK

MINGGU BIASA XV TH. C Ulangan 30:10-14 Kol 1:15-20 Lukas 10:25-37

Siapa itu “orang yang baik?” Ia adalah orang yang biasanya mengaku dirinya tidak ber-agama, dan sering kelihatan sepertinya lebih “Katolik” daripada mereka yang mengaku sebagai Katolik! Walaupun dia mengaku sebagai ateis, dia kelihatan lebih perhatian terhadap sesama, dan sepertinya lebih jujur dan adil daripada mereka yang aktif di gereja.

“Orang yang baik” itu bisa saja sadar akan kelebihannya itu dan berkata, “Saya tidak perlu ke gereja koq untuk berbuat yang benar. Saya tahu banyak orang itu yang rajin ke gereja munafik semua!” Pernah ngga dengar orang omong begitu? Mungkin saja orang seperti itu ada juga di dalam keluarga kita sendiri! Bagaimana kita harus menanggapi mereka?

Kepada orang yang berkata, “Saya tidak perlu ke gereja untuk berbuat yang benar,” kita dapat menjawab, “Kami juga!” Sebab setiap manusia, tanpa terkecuali dan secara alami, sejak penciptaan, mempunyai suatu pengetahuan tentang kebaikan dan kejahatan. Musa mengatakan di dalam Bacaan Pertama, firman ini sangat dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu, dan Santo Paulus mengingatkan kita bahwa Perintah Allah itu ada tertulis di dalam hati manusia (Roma 2:15). Jadi bukan sesuatu yang mengagetkan bila “orang yang baik” itu tidak percaya akan Tuhan namun tahu berbuat yang benar. Seperti “orang yang baik,” kita juga tahu Hukum Tuhan yang ada di dalam hati kita dan setiap manusia. Namun kita tahu sesuatu hal lagi. Kita mengetahui bahwa kita sering gagal dan bahkan suka melawan Hukum Tuhan itu! Dan meskipun barangkali dia tidak mau langsung mengakuinya, si “orang yang baik” itu juga sering gagal. Seperti kita, barangkali dia juga pernah melakukan hal-hal yang bikin sesal dan malu.

Tapi kita datang ke Gereja bukan karena kita mau merayakan kebaikan kita, melainkan karena kebaikan Seorang yang sungguh baik! Hari ini kita mendengarkan tentang seorang tokoh di dalam perumpamaan Yesus yang memenuhi Perintah Cinta Kasih secara luar biasa. Dia disebut “Orang Samaria yang Baik.” Siapa dia sebenarnya? Orang-orang Kristiani yang pertama menganggap Orang Samaria yang Baik itu adalah Yesus Sendiri. Dia memperlihatkan Belas Kasih yang sempurna.

Kitalah orang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati. Penyamun-penyamun itu adalah iblis dan godaan-godaan di dunia ini. Yesus – Orang Samaria yang Baik – memperhatikan kita. Dia membalut luka-luka kita dan membawa kita ke tempat penginapan, Gereja-Nya. Dia memberi “dua dinar” kepada pemilik penginapan, yakni dua Perintah Utama: Cinta Kasih kepada Allah dan kepada sesama.

Siapa di antara kita yang tidak mempunyai luka sama sekali? Kita datang ke Gereja bukan untuk membanggakan betapa “baik”-nya kita, melainkan agar supaya luka-luka kita itu dibalut dan diobati oleh Orang Samaria yang Baik. Kita butuh disembuhkan dan dipulihkan. Hanya dengan demikian – dan hanya pada saat itulah – kita dapat berbagi belas kasih yang mendalam. Oleh karena itu setelah kita dijamah, Yesus berkata juga kepada kita, Pergilah, dan perbuatlah demikian!
(Romo Noel SDB)

Wednesday, June 16, 2010

“PETERPORN”

MINGGU BIASA XI TH.C 2 Samuel 12:7-10, 13 Galatia 2:16, 19-21 Lukas 7:36--8:3

Beberapa hari belakangan ini, kita dibombardir berita fakta dan gosip tentang beberapa selebriti yang terlibat dalam video porno. Cukup menarik memperhatikan bagaimana masyarakat dan kita bereaksi. Kaget. Marah. Jijik. Muak. Namun banyak orang juga yang sedih dan kecewa bahwa artis kesayangan dan idola mereka koq bisa “begitu!” Kita suka lupa bahwa orang-orang yang kita angkat tinggi-tinggi itu adalah tetap manusia yang lemah dan berdosa.

Saya mengikuti gosip tersebut sedikit (terpaksa, abis ada dimana-mana!) dan saya mendengar bahwa seorang dokter psikolog menyatakan pihak pria itu kemungkinan mempunyai kelainan. Kelainan itu dalam arti memanfaatkan ketenarannya sebagai selebriti yang dikagumi begitu banyak penggemar supaya “menaklukkan” sebanyak mungkin wanita dan gadis, kalau bisa dengan dokumentasi!

Penyalahgunaan kekuasaan dan penyalahgunaan seksualitas bukanlah sesuatu yang baru. Di dalam bacaan pertama, itulah yang membawa Raja Daud ke dosanya yang sangat besar, perzinahan dan pembunuhan. Di dalam injil, orang-orang yang tidak bisa menerima sikap toleransi Yesus terhadap wanita yang berdosa itu kemungkinan besar pernah menjadi langganannya juga! Dan mereka pun sebenarnya melakukannya bukan untuk sekedar hiburan seksual. Para psikolog mengatakan bahwa kaum pria pada umumnya cenderung bermasalah dengan Kekuasaan. Kita mudah terpancing untuk mendominasi, tapi kita sering ragu-ragu sampai mana batas kekuasaan kita itu. Rasa kurang puas inilah yang mendorong kita untuk menguasai keraguan itu dengan mendominasi secara seksual. Sesungguhnya kita kaum laki-laki bermasalah dengan kompleks kurang hargadiri, termasuk secara seksual. Perasaan rendah diri itu menuntut suatu pengganti atau kompensasi. Salah satu cara adalah merendahkan orang lain dan meremehkan mereka dengan menyalahgunakan kekuasaan seksualitas.

Di dalam Injil, Lukas menyebut nama beberapa wanita yang merupakan teman-teman dekat dan murid-murid Kristus... dan juga beberapa orang perempuan yang telah disembuhkan dari roh-roh jahat atau berbagai penyakit, yaitu Maria yang disebut Magdalena, yang telah dibebaskan dari tujuh roh jahat, Yohana isteri Khuza bendahara Herodes, Susana dan banyak perempuan lain. Pada zaman Yesus, hak dan kekuasaan kaum wanita itu sangat terbatas. Yesus mengundang, menyambut dan memberdayakan mereka dengan menerima dan menanggapi mereka secara terbuka. Di dalam Kerajaan yang Yesus promosikan, Wanita itu diberdayakan untuk melahirkan-Nya, mendampingi-Nya dalam pelayanan dan menjadi pewarta Kabar Baik Kebangkitan-Nya! Akhirnya mereka itu melihat di dalam Diri Orang Suci ini suatu Kekuasaan yang digunakan - tidak disalahgunakan.

Bukanlah sesuatu yang dibesar-besarkan kalau dikatakan bahwa dimana respek pada kaum wanita dan perempuan itu menghilang, disana imoralitas dan pelanggaran susila meningkat. Yesus selalu adalah teladan sempurna dan patokan sejati bagaimana kita mestinya menghormati dan bahkan meninggikan mereka yang telah melahirkan kita.
(Romo Noel SDB)

Saturday, June 5, 2010

MALAS KE GEREJA

HARI RAYA TUBUH DAN DARAH KRISTUS

“Malas ke gereja” adalah ekspresi biasa kita jika lagi tidak bersemangat untuk ikut Misa Kudus. Padahal, dengan kata lain, itu artinya “Saya lagi malas menyembah Yesus sebagai Tuhan dan menerima-Nya sebagai Juruselamat.” Teganya kita ya!

Memang kenapa kita ikut Misa? Jawabannya to the point dan sangat sederhana, “Sebab kita ingin menyembah dan menyambut Yesus, sebagai Tuhan dan Juruselamat kita.” Bagi kita, umat Katolik, kehadiran Yesus di dalam Ekaristi bukan sekedar simbol, melainkan nyata dan sungguh. Di dalam Misa, Roh Kudus merubah roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Roti dan anggur itu menjadi Yesus. Oleh karena itu kita menyembah Sakramen Mahakudus.

Salah satu inspirasi saya dalam panggilan Imamat adalah kesaksian-kesaksian para imam yang setia kepada Ekaristi dalam keadaan yang paling sulit, bahkan sampai mati! Misalnya para imam yang ditahan pada zaman Nazi dulu, bagaimana mereka rela mengambil resiko besar untuk merayakan Misa secara tersembunyi agar mereka dan rekan-rekannya dapat menyambut Komuni Kudus! Saya pernah baca tentang seorang imam yang ditahan pada zaman Vietnam Komunis merayakan Misa dengan memegang sebutir roti dan setetes anggur di telapak tangannya! Belum lagi kesaksian para martir yang rela menderita sengsara sampai mati demi iman akan Sakramen Mahakudus.

Jika Ekaristi begitu berharga bagi saudara-saudara kita se-iman itu, bagaimana dengan kita sendiri? Kita selalu berusaha memperhatikan dengan baik semua hal di gereja kita yang ada hubungan dengan Liturgi yang benar, indah dan tertib. Jadi kita menjaga gereja sebagai rumah Tuhan itu bersih, rapi dan layak; musik dan nyanyian bagus; komunitas umat Allah yang ramah dan simpatik; homili yang menarik dan membumi, dan sebagainya. Tapi seandainya semua rupa dan keadaan luar itu tidak ada, bukankah Misa Kudus itu tetap saja pantas untuk kita ikuti supaya kita dapat menyembah dan menyambut Sakramen Mahakudus, yakni Yesus Sendiri?

Ujung-ujungnya Ekaristi adalah Penyembahan; intinya Ekaristi adalah Pujian. Jadi di dalam Misa Kudus, tujuan musik dan nyanyian adalah menyembah Tuhan; homili yang baik menuju ke penyembahan. Memang seorang imam pada saat berkotbah itu mengajar dan sekaligus meneguhkan iman umat, namun terutama dia ingin memuliakan Tuhan. Persekutuan kita sebenarnya adalah penyembahan. Kita ingin menciptakan suasana yang akrab dan ramah, tetapi tujuan utama persekutuan kita di dalam Perayaan Ekaristi ialah menyembah Pencipta dan Juruselamat kita, yang telah memberikan Dirinya dalam wujud Roti dan Anggur.

Bila suatu saat muncul lagi perasaan itu, “malas ke gereja,” berhentilah dan sadarilah apakah yang kamu sebenarnya akan kehilangan. Yakinkah kamu tidak mau menyembah dan menyambut Yesus, Tuhan dan Juruselamat kamu? (Romo Noel SDB)

Saturday, May 29, 2010

CAPAX DEI

HARI RAYA TRITUNGGAL MAHAKUDUS

Saya barusan membunuh seekor nyamuk (hiks). Ini membuat saya berpikir tentang hubungan Tuhan Allah dan manusia. Sama seperti seekor nyamuk terhadap seorang manusia, demikian juga seorang manusia terhadap Tuhan Allah... hanya berbeda dalam hal kita ini sangat tergantung pada-Nya sebagai mahkluk ciptaan-Nya. Seekor nyamuk itu bisa hidup tanpa manusia, tapi tanpa Tuhan, kita ini bukan siapa-siapa dan tidak bisa apa-apa!

Namun Tuhan menaruh sesuatu pada diri kita yang tidak ada di dalam mahkluk lain. Santo Agustinus menyebutnya “capax Dei” – kapasitas untuk Tuhan. Di dalam Perjanjian Lama, Tuhan Allah melakukan sesuatu yang luarbiasa. Dia memberitahu Nama-Nya kepada Musa. Kita menerjemahkannya “TUHAN” dari aslinya Ibrani, “YAHWEH.” Banyak polemik tentang hal ini dari segi bahasa, teologi dan sebagainya, tapi yang jelas, Tuhan telah memberitahu nama-Nya!

Memang apa yang luarbiasa dalam hal itu? Nah kita biasanya mempunyai kebiasaan untuk memberi nama kepada binatang kesayangan kita, bukan? Tapi kita tidak pernah memberitahu nama kita kepada mereka! “Bosky” adalah Golden Retriever yang terkenal di Danau Sunter. Saya yang memberi namanya, dan selama sekitar delapan tahun kami bersama, saya telah memanggil namanya itu berkali-kali. Tapi tak pernah saya berkata kepadanya, “Bosky, nama saya Pastor Noel. Kamu bisa panggil saya PN, ok.” Hubungan kami tidak sampai seperti itu! Bukan karena saya tidak menyayangi Bosky, tapi tidak mungkin saya memberitahu kepadanya nama saya! Dia sama sekali tidak mempunyai kapasitas untuk menerimanya.

Lain kalau di antara kita dan Allah. Secara unik kita mempunyai kapasitas untuk Dia. Buktinya, Tuhan Allah memberitahu Nama-Nya kepada manusia. Kita tidak perlu belajar Teologi khusus atau bahasa Ibrani. Kita berkomunikasi dengan-Nya setiap saat kita memanggil Nama-Nya, “Ya Allah Bapa kami,” atau “Ya Yesusku,” atau “Ya Tuhan kami yang Mahabaik.” Kita sungguh-sungguh dapat menjalin suatu hubungan yang luarbiasa dengan Sang Pencipta. Tentu saja, seperti apa yang kita melihat di seluruh Kitab Suci, Tuhanlah yang selalu mengambil inisiatif untuk berhubungan dengan kita. Dia yang selalu duluan datang mengulurkan tangan-Nya kepada kita sehingga kita juga dapat datang kepada-Nya.

Yesus datang ke dunia ini supaya manusia mempunyai hidup dalam segala kelimpahan. Yesus melakukan itu dengan mengundang kita masuk dalam misteri dan hidup Tritunggal Mahakudus. Sebagai Allah Putera, Ia membawa kita kepada Allah Bapa bila kita bersatu dengan penderitaan dan sengsara-Nya dalam pengorbanan-Nya di Salib. Cinta Kasih di antara Yesus dan Bapa-Nya adalah Allah Roh Kudus. Hati dan hidup kita yang kering dan hampa itu Ia curahi dengan Roh Kudus agar kita dapat datang kepada Bapa.

Inilah hidup ilahi dan hubungan yang istimewa dengan Allah Bapa, Allah Putera dan Allah Roh Kudus, yang disediakan bagi kita. Dan sebagai mahkluk kesayangan Tuhan, manusia diberi kapasitas untuk menerima Nama-Nya, yakni Diri-Nya Sendiri! “Rahmat Tuhan kita Yesus Kristus, cinta kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus besertamu!” Jadi setiap saat dalam hidup kita ini, atau kita sedang membuka diri dan mengambil Tangan Tuhan yang diulurkan kepada kita atau kita sedang mengundurkan diri dan makin jauh daripada-Nya! Tak ada status netral atau setengah-setengah. (Romo Noel SDB)

Sunday, May 23, 2010

GEREJA KAUM MUDA

HARI RAYA PENTEKOSTA

Ada seorang teman yang berbagi suatu pengakuan, katanya, waktu dia masih anak remaja, dia suka bangun pagi-pagi kalau hari Minggu, kemudian ia masuk ke kamar orang tuanya dan mematikan weker supaya mereka tidak bisa bangun “on time.” Maka kalau mereka ketiduran, berarti keluarga tidak jadi ke gereja karena sudah terlambat! Jelas bahwa teman saya (pada saat itu) bukan tipe anak muda yang suka, apalagi rajin, ke gereja tiap hari Minggu. Herannya, strateginya itu seringkali berhasil!

Di dalam umur yang muda itu, pergi ke gereja bukanlah sesuatu yang penting bagi dia. Dan seperti yang dia katakan, kalau dia ingat “kenakalannya” itu, dia menyadari bahwa sikap tersebut disebabkan suatu perasaan bahwa apa yang terjadi di dalam gereja mempunyai hanya sedikit, atau bahkan sama sekali tidak ada pengaruh dalam hidupnya sehari-hari!

Sebenarnya pengalaman masa remaja teman saya itu bukan sesuatu yang unik. Banyak anak-anak yang dibesarkan dan dibiasakan rajin ikut ke gereja tiap minggu mempunyai pengalaman yang hampir sama. Banyak anak-muda yang sudah bertahun-tahun ikut kegiatan-kegiatan gereja namun imannya bukan sesuatu yang “masuk” dalam identitas dan hidupannya. Anak-anak muda yang mengaku sebagai Katolik yang sejati belum tentu dapat memperlihatkan bukti bahwa iman Katoliknya itu sungguh menjadi pedoman hidupnya. Dengan kata lain, anak-anak muda seperti itu tidak merasa “memiliki” Gereja, dan bahkan tidak merasa bagian daripada Gereja. Gereja itu bukan Gereja mereka. Gereja adalah Gereja orang tua mereka.

Anak-anak muda terkasih yang sedang membaca renungan ini, apakah kamu mengalami hal yang sama? Apakah kamu memandang agama, iman dan gereja sebagai urusan orang tua saja? Apakah kamu merasa bahwa pelajaran agama di sekolah dan katekismus atau homili di gereja tidak mempengaruhi pilihan-pilihan kamu dalam hidup sehari-hari? Seharusnya tidak seperti itu!

Pada Hari Raya Pentekosta, dengan cara yang luar biasa, para Rasul dan murid-murid Kristus dicurahi Roh Kudus, dan dengan kuasa Allah mereka dapat mewartakan Sabda-Nya dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh semua orang yang hadir pada saat itu (Kis 2:1-12). Gereja Kristus telah lahir! Dan pada peristiwa yang dahsyat itu, Petrus menyatakan sesuatu yang sangat penting, “Sebab bagi kamulah janji itu dan bagi anak-anakmu dan bagi orang yang masih jauh, yaitu sebanyak yang akan dipanggil oleh Tuhan Allah kita" (Kis 2:39).

Janji apakah yang dimaksud? Janji tentang Gereja dan kepemimpinan-Nya, janji tentang pengampunan dosa dan keselamatan, janji tentang perutusan Sang Penolong, yakni Roh Kudus. Janji itu adalah untuk mereka (orang tua) dan anak-anak mereka. Gereja Kristus bukan hanya untuk orang tua kamu. Tuhan menghendaki Gereja-Nya menjadi Gereja kamu juga!

Jadi pintu Gereja terbuka juga untuk Kaum Muda. Namun kamu harus mengambil keputusan mau atau tidak menerima kesempatan yang Tuhan berikan kepada kamu. Apakah kamu mau menjadikan Gereja Kristus itu Gereja kamu juga? Apakah kamu mau mendengarkan, mempelajari dan menerima ajaran-ajaran Gereja agar prinsip-prinsip dan nilai-nilai itulah yang menjadi pedoman hidup kamu? Menanggapi dan menerima semuanya itu berarti kamu bukan lagi hanya anggota Gereja, tetapi juga mulai “memiliki” Gereja. Yesus mengutus Roh Kudus sesuai dengan janji-Nya, dan Dia tidak pernah merencanakan bahwa Gereja-Nya itu khusus hanya untuk orang tua kamu. Yesus ingin agar Gereja itu juga untuk kamu... Gereja Kaum Muda. (Romo Noel SDB)

Monday, May 17, 2010

TUHAN MASIH BERKOMUNIKASI

MINGGU PASKAH VII – HARI KOMUNIKASI SEDUNIA Yoh 17:20-26

Apakah Tuhan masih berkomunikasi dengan manusia? Mungkinkah Tuhan masih sungguh-sungguh berbicara secara langsung dengan manusia? Jika kamu meragukannya, saya mempunyai sesuatu untuk kamu. Ini adalah suatu kesaksian dari seorang bapak.

Sudah lewat jam sepuluh malam waktu dia pulang dari Persekutuan Doa. Di dalam mobil, dia berdoa secara spontan, “Tuhan, jika benar Tuhan masih berbicara dengan manusia, seperti pengajaran yang baru saya dengar tadi, tolong berbicaralah kepada saya. Saya akan mendengarkan. Saya janji, saya akan berusaha untuk menuruti perkataan Tuhan.”

Pas pada saat dia sedang lewat Indomaret, dia tiba-tiba ada suatu perasaan harus berhenti dan membeli sebuah kaleng susu. Dia tersenyum di dalam hati sambil berkata, “Tuhan, itukah Engkau?” Tidak ada jawaban. Dia melanjutkan perjalanannya menuju rumah, tapi saat dia mendekati Alfamart, perasaan yang tadi muncul lagi! “Ya udah,” dia bicara seorang diri, “Tuhan, jika ini memang suara-Mu, saya akan membeli susu.” Toh susu kan selalu bisa berguna, kapan saja bisa diminum! Tapi setelah dia mulai jalan lagi, tiba-tiba ada suatu perasaan untuk belok ke suatu jalan kecil di daerah kota yang agak kumuh itu. Lagi dia tidak mengindahkan perasaannya itu, tapi setelah lewat beberapa meter, dia berputar kembali dan masuk jalan yang tadi, kemudian di depan suatu gang, dia merasa harus berhenti. Tempatnya sepi, dengan sebuah warung kecil yang masih buka tapi tidak ada siapa-siapa kecuali seorang bapak tua yang sedang nonton dari TV kecil.

Lagi tiba-tiba dia merasa seperti diperintahkan, “Berikanlah kaleng susu itu kepada orang yang tinggal di rumah yang pas di depan kamu.” Rumah yang cukup sederhana itu sudah gelap dan penghuninya pun kelihatannya sudah pada tidur. “Tuhan, ini gila bener. Tapi ya udah, jika memang ini dari Engkau, saya akan ketuk pintu dan memberi susu ini.” Beberapa saat setelah dia mengetuk pintu, ada seorang pria yang membukakanya dan bertanya, “Cari siapa Pak, bisa dibantu?” Dari dalam rumah kedengaran suara seorang bayi yang sedang menangis. “Ini, saya membawa ini untuk kamu,” katanya kepada laki-laki itu yang langsung membawanya ke dalam kamar. Setelah beberapa saat dia keluar bersama isterinya, dan mereka menangis bersama! “Kami barusan berdoa” kata ibu muda itu. “Kami sedang bermasalah keuangan. Bayi kami lagi butuh susu, dan tadi saya berdoa meminta Tuhan petunjuk bagaimana mendapatkan susu yang berharga itu. Aku meminta Tuhan untuk mengutus seorang Malaikat. Apakah kamu seorang Malaikat?”

Dia mengambil beberapa uang dari dompetnya dan menaruhnya di tangan laki-laki tadi. Kemudian dia pamit sama pasangan itu dan berjalan kembali ke mobilnya sambil airmata mengalir di pipinya! Sekarang dia yakin bahwa Tuhan memang masih mendengarkan doa umat-Nya dan Dia sungguh masih berkomunikasi dengan manusia. (Romo Noel SDB)

Saturday, May 8, 2010

JAUH DI MATA, DEKAT DI HATI

HARI MINGGU PASKAH VI Kis 14:1-2, 22-29 Wahyu 21:10-14, 22-23 Yoh 14:23-29

Dulu belum ada email dan SMS, jadi orang pakai cara berkomunikasi yang paling biasa, yakni dengan surat-menyurat. Ada seorang pemuda yang terpaksa meninggalkan kekasihnya karena dia mendapat tugas di tempat yang jauh. Tetapi sebelum berpisah, mereka sempat saling berjanji bahwa akan tetap berhubungan dan berkomunikasi melalui surat. Dan itulah yang mereka lakukan dengan setia. Jadi hampir tiap minggu tukang pos datang ke rumah gadis itu mengantarkan surat dari sang kekasih. Satu tahun, dua tahun, tiga tahun... waktu berjalan begitu cepat, dan lama-kelamaan suatu relasi baru berkembang di antara gadis dan tukang pos yang dia sering ketemu, sedangkan makin menjadi “dingin” relasinya dengan kekasih yang jauh dan tak kelihatan. Pasti kamu bisa tebak sendiri akhirnya si gadis itu menikah dengan siapa! Memang “pacaran-jarak-jauh” selalu ada resiko menjadi jauh di mata... maka jauh di hati.

Satu hal yang kita tahu dari pengalaman adalah kita ingin selalu bersama dengan orang yang kita cintai. Masalahnya, kita tidak melihat atau menjamah Yesus secara fisik. Ini sama dengan masalah “pacaran-jarak-jauh.” Bagaimana caranya kita mencintai Yesus yang tak kelihatan? Di dalam Injil, Yesus mempersiapkan murid-murid-Nya, mereka yang mengasihi-Nya, untuk kepergian-Nya dari dunia ini dan menunjukkan kepada mereka bagaimana mereka bisa mempertahankan Cinta dan Keakraban mereka itu walaupun secara fisik Dia sudah tidak ada, Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku dan Bapa-Ku akan mengasihi dia dan Kami akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia (Yoh 14:23).

Jadi jika kamu mencintai Yesus, (1) Turutilah Firman-Nya. Taatilah ajaran-ajaran-Nya. (2) Ini akan “meng-aktifkan” Cintakasih Tuhan untuk kamu, dan (3) Yesus dan Bapa-Nya akan datang kepadamu dan tinggal bersama dengan kamu! Maka vakum yang disebabkan oleh ketidak-adaan Yesus akan diisi secara rohani yang adalah nyata juga, bahkan lebih dahsyat lagi daripada kehadiran-Nya secara fisik!

Istilah yang Yesus pakai, yaitu “mereka yang mengasihi Aku” itu bermaksud pengikut-pengikut-Nya, dengan kata lain, “murid-murid-Ku,” “mereka yang percaya pada-Ku” atau secara langsung “orang Kristiani.” Relasi di antara Yesus dan pengikut-pengikut-Nya pada intinya adalah relasi cinta kasih. Oleh karena itu, Yesus berkata, Aku tidak menyebut kamu lagi hamba... Aku menyebut kamu sahabat (Yoh 15:15). Tapi kadang-kadang sepertinya kita merasa lebih nyaman berhubungan dengan-Nya sebagai ”Boss” daripada sebagai Sahabat! Sebab ada batas dengan apa yang seorang Boss itu dapat menuntut dari kita. Sedangkan keterbatasan seperti itu tidak ada lagi di dalam persahabatan yang sejati.

Dengan menjalin persahabatan dan relasi yang begitu akrab dengan Yesus, berdasarkan ketaatan kita kepada Firman-Nya, Dia sungguh menjadi jauh di mata tapi dekat di hati, bahkan diam bersama-sama dengan kita. (Romo Noel SDB)

Monday, May 3, 2010

RAHASIA SEORANG IBU

MINGGU PASKAH IV, HARI MINGGU PANGGILAN Kis 13:14, 43-52 Wahyu 7:9, 14b-17 Yoh 10:27-30

Suatu malam, beberapa hari sebelum saya ditahbiskan sebagai imam pada tahun 1989, Mama saya memanggil saya karena katanya mau kasih tahu suatu “rahasia.” Menurut pengakuannya, beberapa hari setelah saya lahir, saya mengalami suatu penyakit yang cukup parah sampai hampir meninggal. Dia telah menjadi pencinta Bunda Maria sejak masa mudanya dan kebetulan pernah menjadi anggota kelompok puteri-puteri Bunda Maria dari Lourdes. Dalam keadaan hampir putus-asa, dia hanya bisa berpasrah dan berdoa, “Ya Bunda Maria, jika anakku ini sembuh, dia adalah milikmu!” Saya sembuh… dan kemudian bertumbuh, berkembang menjadi anak yang sehat, pinter dan lucu (menurut Mama saya!) Dan ia pun sudah melupakan doanya itu… walaupun sebenarnya dia suka ingat-ingat juga, apalagi waktu saya sudah masuk seminari! Tetapi ternyata Bunda Maria tak pernah lupa. Saya beserta kawan-kawan saya menerima Sakramen Imamat persis pada Hari Raya Bunda Maria dari Lourdes, pada tanggal 11 Februari! Dan “rahasia” itu saya baru tahu pada malam Mama menceritakannya. Bunda Maria telah menerima persembahan Mama saya 29 tahun yang lalu dan sungguh menjadikan saya miliknya! Campur tangan Bunda Maria tambah makin nyata waktu saya menerima tugas pertama pada tahun itu juga, yakni sebagai Pastor Pembantu di salah satu Paroki serikat kami, Paroki Bunda Maria dari Lourdes!

Semua peristiwa yang cukup luar biasa ini saya selalu ingat dengan rasa syukur dan bahagia setiap saat merenungkan panggilan Imamat saya. Sebab memang Panggilan dan Bunda Maria itu tak terpisahkan. Saya diajarkan dan disadarkan selama masa pembinaan, dan saya sendiri sungguh percaya bahwa Panggilan itu datang kepada saya melalui Bunda Maria. Saya berasal dari keluarga yang sangat menghargai dan mencintai Bunda Maria, setia pada tradisi dan devosi seperti Doa Rosario, Doa Malaikat Tuhan, Novena dan sebagainya. Bunda Maria memperhatikan kami dan menaruh cinta kasihnya kepada kami sehingga keluarga kami dapat menerima “hadiah yang paling indah dari Tuhan” menurut St Yohanes Bosco, yaitu salah satu anak dipanggil menjadi Imam!

Hai anak muda yang membaca renungan ini, jika suatu saat kamu merasakan suatu bisikan dari Tuhan di dalam hatimu, datanglah kepada Bunda Maria… dia juga mengalami hal yang sama pada masa mudanya. Dengan pertolongan dan penyertaannya, kebimbangan dan keraguan tak mungkin tetap menimpa kamu dan semuanya akan menjadi makin jelas bagimu. Bapak-ibu yang selalu mengharapkan yang terbaik bagi anak, jika suatu saat kamu merasa ada tanda-tanda dia terpanggil, berikan dukunganmu dan percayakanlah dia kepada Bunda Maria. Saya doakan semoga keluarga kamu juga mendapatkan “hadiah yang paling indah dari Tuhan.” (Romo Noel SDB)

Sunday, May 2, 2010

HUKUM CINTA KASIH

MINGGU PASKAH V Kis 14:21-27 Wahyu 21:1-5a Yoh 13:31-33a, 43-35

Seorang pastor selalu menjawab pertanyaan mengenai “ongkos” pernikahan di gerejanya dengan mengatakan, “Itu tergantung cantik atau jeleknya calon isteri kamu!” Jadi apabila calon pengantin datang untuk bertanya-tanya atau mencari informasi, dan biasanya calon mempelai pria yang suka bertanya duluan, “Romo, boleh tanya, kalau di gereja Romo ini tarif pernikahannya berapa ya?” Si pastor akan langsung menjawab, “Itu tergantung cantik atau jeleknya calon isteri kamu.” Tentu saja karena tiap laki-laki yang datang menganggap pasangannya paling cantik, maka mereka selalu bersedia membayar tarif yang tinggi-tinggi! Ada yang satu juta, ada yang lima juta, bahkan ada yang sepuluh juta. Hal ini sudah menjadi suatu kebiasaan sampai pada suatu saat, ada seorang pria yang bertanya masalah biaya pernikahan tersebut. Seperti biasa si pastor menjawab, “Itu tergantung cantik atau jeleknya calon isteri kamu.” Setelah diam beberapa saat, pria yang datang ke kantor itu sendirian menyerahkan goban kepada si pastor. Sambil berusaha untuk menyembunyikan kekagetannya dari pria tadi, si pastor mengintip dari jendela ingin melihat calon isterinya yang sedang menunggu di luar itu seperti apa. Kemudian ia mengambil sesuatu dari lacinya dan memberikan noban kepada pria itu sambil berkata, “Ini, uang kembali kamu.”

Bagi kita penampilan fisik seringkali masih sangat menentukan cara kita “mencintai” atau “mengasihi.” Untung tidak demikian dengan Tuhan... sama sekali tidak. Tuhan memandang kita, dan Dia menganggap kita indah. Dia menerima kita apa adanya. Dia tidak peduli bagaimana penampilan fisik kita. Dia lebih mementingkan bagaimana kita di dalam, manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati (I Samuel 16:7). Tuhan ingin supaya kita mempunyai hati yang seperti hati-Nya... hati yang sanggup menaruh kasih kepada setiap orang, tanpa terkecuali.

Kita tidak harus menyukai semua orang, tetapi sebagai pengikut Kristus, kita diwajibkan untuk mengasihi satu sama lain seperti Dia mengasihi kita (Yoh 15:12). Jika seandainya kita bertanya apa hak-Nya untuk memerintahkan kita seperti itu, Yesus bisa menjawab, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya... dan Aku telah melakukannya.” Yesus memberi kita suatu perintah yang Dia Sendiri yang pertama melakukannya!

Apakah itu sesuatu yang gampang bagi Yesus? Maybe Yes... maybe No. Kita tidak tahu. Tapi sebagai sungguh Allah, kapasitas-Nya untuk mengasihi itu tak terbatas! Sedangkan kita ini, yang kita sebut “cinta” atau “kasih” itu belum tentu persis sama dengan Cinta Kasih yang diajarkan Yesus. Bagaimana caranya menanggapi serta melakukan perintah Cinta Kasih Yesus itu? Kita harus menerima Yesus dan mengizinkan-Nya mengasihi yang lain melalui diri kita. Itulah yang dimaksud “menaruh cinta kasih kepada sesama.” Hanya cara itulah yang memungkinkan agar orang yang dianggap paling tak pantas disayangi pun dapat menjadi orang yang mendatangkan kesayangan dan kasih! Dari “unlovable” menjadi “lovable.”
(Romo Noel SDB)

Wednesday, April 28, 2010

AGAPE DAN PHILIA

MINGGU PASKAH III Kis 5:27-32, 40-4 Wahyu 5:11-14 Yohanes 21:1-19

Kita biasanya mengkaitkan tiga kali pertanyaan kepada Petrus dengan tiga kali penyangkalannya terhadap Yesus! Penafsiran seperti itu memang bagus juga, tapi ada sesuatu yang lebih menarik lagi. Dalam Bahasa Indonesia, pada saat Yesus bertanya Apakah engkau MENGASIHI Aku? dan Petrus menjawab Ya Tuhan, aku MENGASIHI Engkau, sepertinya semuanya baik-baik saja. Tapi dalam Bahasa Yunaninya, Petrus dan Yesus sebenarnya berbicara dari dua level yang berbeda!

Di dalam versi bahasa Yunani, ada tiga kata yang berbeda yang dapat digunakan untuk kata “cinta.” Yang pertama adalah eros, yang berarti cinta yang sensual atau erotis. Macam cinta ini berdasarkan perasaan dan emosi. Kemudian ada philia, yang berarti cinta pada sesuatu atau seseorang yang menyenangkan atau mengagumkan, seperti cinta kepada orangtua atau sahabat, kagum pada seorang pahlawan atau senang pada suatu karya seni. Macam cinta ini berdasarkan pikiran dan logika. Yang terakhir adalah agape, yang berarti cinta sejati yang rela berkorban demi orang lain, termasuk mereka yang tidak disukai dan tidak menyenangkan! Macam cinta ini tanpa syarat dan berdasarkan kehendak. Mengasihi dengan cinta agape berarti mengambil keputusan untuk rela berkorban demi kekasih! Inilah macam cinta yang Yesus menaruh pada kita saat Dia mengambil keputusan untuk menggantikan kita di salib dan menyerahkan nyawa-Nya demi kita, orang-orang berdosa!

Kembali ke Injil, sangat menarik percakapan di antara Yesus dan Petrus. Untuk pertama kalinya, Yesus bertanya kepada Petrus, “Apakah engkau AGAPE Aku?” (Apakah engkau mengasihi Aku dengan cinta yang rela berkorban sampai mati?) Petrus sudah belajar dari pengalamannya. Dia begitu sadar akan dosa dan ketidak-setiaannya. Maka ia menjawab, “Ya Tuhan, aku PHILIA Engkau.” (Ya Tuhan, aku sungguh mengagumi-Mu... tapi aku gagal mengasihi Engkau dengan cinta yang setia dan sejati.) Jadi Yesus bertanya untuk kedua kalinya pertanyaan yang sama, dan jawaban Petrus juga sama. Akhirnya, agar Petrus tidak dipermalukan terus, maka Yesus bertanya kepadanya, “Apakah engkau PHILIA Aku?” Dan Petrus pun menjawab, “Ya Tuhan, aku PHILIA Engkau.” Selesailah wawancara dengan Pemimpin para Rasul. Yesus menerima Petrus apa adanya. Cinta Philia-nya pun cukup untuk sementara.

Petrus yang kita ketemu disini bukan lagi yang sombong, angkuh dan sok yakin ia lebih hebat dari kawan-kawannya, tetapi Petrus yang lebih bijak, rendah-hati dan sadar-diri. Intinya Petrus mau bilang kepada Yesus, “Aku mencintai-Mu, Tuhan. Tolonglah aku untuk lebih mencintai-Mu lagi.” Kita juga sungguh mencintai Tuhan. Tapi kita tahu juga bahwa itu hanyalah sebagian dari diri kita. Sebagian lagi adalah yang tidak mencintai Tuhan, yang menyangkal Tuhan, yang meninggalkan Tuhan. Pengalaman Petrus mengajak kita untuk mempersembahkan sisi kita yang negatif itu kepada Tuhan untuk disembuhkan. Kita juga bisa berdoa, “Aku mencintai-Mu, Tuhan. Tolonglah aku untuk lebih mencintai-Mu lagi.” (Romo Noel SDB)

Saturday, April 3, 2010

ROMBONGAN KE SURGA

HARI RAYA KEBANGKITAN KRISTUS Kis 10:34a.37-43 Kol 3:1-4 Yoh 20:1-9

Sebagai gembala umat, seorang Pastor Paroki mempunyai suatu tanggung-jawab berat: membawa setiap umatnya ke Surga! Ada seorang Pastor yang saking besar keinginannya untuk bertanggung-jawab, maka dia mempunyai kebiasaan untuk pergi ke tempat-tempat malam seperti nightclub untuk mencari domba-dombanya yang hilang. Pada suatu saat, dia masuk ke sebuah nightclub dan disitu ia menemukan tiga umatnya yang sedang duduk santai. Dia bertanya kepada yang pertama, “Apakah kamu mau ke Surga?” Orang itu langsung menjawab ya. Maka Pastor berkata, “Kamu pergi berdiri disana!” Kemudian ia bertanya hal yang sama kepada yang kedua. Juga orang itu menjawab ya, dan disuruh berdiri di samping temannya. Si Pastor datang kepada yang ketiga dan bertanya, “Apakah kamu mau ke Surga?” Orang itu menjawab, “Tidak.” “Apa?!” Pastor itu kaget dan juga bingung, “Kamu tidak mau ke Surga kalau nanti kamu mati?” “Oh, iya mau, nanti kalau saya mati!” jawab orang itu, “Abis saya pikir Romo sedang mau bikin rombongan untuk berangkat sekarang juga, hehe!”

Setiap Pastor Paroki mempunyai kerinduan untuk membawa umatnya ke Surga, tanpa satu orang pun ketinggalan. Dan “rombongan” itu dia berusaha bentuk bukan nanti atau tahun depan melainkan sekarang juga. Sebab Surga dan hidup kekal itu sudah mulai disini dan sekarang juga. Inilah Kabar Baik Kebangkitan Kristus!

Kristus telah bangkit dari kematian. Dia mengatakan kepada kita bahwa kebangkitan itu bukan suatu peristiwa yang jauh disana. Tidak. Yesus berkata, Akulah Kebangkitan dan Kehidupan. Dan Dia mengatakan juga, Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku. Berarti dengan hubungan yang pribadi dan personal dengan Yesus melalui doa dan Sakramen-sakramen maka kita sudah berpartisipasi dalam Kebangkitan-Nya! Paulus membicarakan hubungan yang seperti itu dengan kata-katanya, Kamu telah dibangkitkan bersama dengan Kristus.

Namun sungguh menyedihkan bahwa pada Hari Raya Paskah pun, tetaplah ada orang-orang yang belum bangkit dan masih tinggal dalam ”kuburan.” Orang-orang yang tenggelam dalam banyak masalah dan berbagai problema sehingga putus-asa. Orang-orang yang menderita sengsara oleh karena masalah politik, ekonomi, bencana alam dan macam-macam kekerasan sehingga tidak berpengharapan lagi. Belum lagi masalah keluarga dan pribadi... semuanya ini bisa membuat siapa saja merasa sedih dan kecewa!

Kristus telah bangkit dan kita telah dibangkitkan bersama dengan-Nya! Tidak ada Kabar Baik yang lebih baik daripada itu. Melalui doa dan Sakramen-sakramen, kita sungguh dapat bersatu dengan-Nya. Hidup-Nya dan Kebangkitan-Nya dapat kita nikmati sekarang juga. Yesus telah bangkit dari kematian. Dimana Dia berada sekarang, disitulah Dia ingin kita berada juga. Hidup kekal dan Surga itu mulai disini dan sekarang juga. Alleluia! (Romo Noel SDB)

Wednesday, March 31, 2010

ORANG BILANG PASTOR

Pernah dengar Litani Pastor yang serba-salah?

Bila ia ditahbiskan terlalu muda, orang bilang: masih bocah koq sudah disuruh jadi pastor.
Bila ia ditahbiskan sudah tua, orang bilang: dia jadi pastor kan karena ngga laku kawin.

Bila ia cukup ganteng, orang bilang: bego amat tuh cowok! Cakep-cakep koq jadi pastor. Kenapa ngga kawin aja ya. Gue juga mau lho sama kamu?!
Bila wajah tidak mendukung, orang bilang: memang lebih baik jadi pastor aja, daripada frustasi tidak ada yang mau.

Bila ia rapih berpakaian bagus, orang bilang: pastor koq seperti peragawan.
Bila ia berpakaian seadanya, orang bilang: sering tampil di muka umum koq ngga bisa ngurus badan.

Bila ia naik mobil, orang bilang: pastor tak menghayati kaul kemiskinan.
Bila ia jalan kaki ngga mau naik kendaraan, orang bilang: pastor koq tidak menghargai waktu.

Bila ia banyak bergaul dengan cewek-cewek, orang bilang: sudah tahu jadi pastor koq ya masih suka nyrempet-nyrempet bahaya.
Bila ia banyak bergaul dengan cowok-cowok, orang bilang: mentang-mentang jadi pastor lalu anti-wanita. Mungkinkah pastor kita gay?!

Bila ia suka bergaul dengan anak-anak, orang bilang: wah baik-baik sama anak kecil biar bisa mendekati ibu dan kakaknya.
Bila ia suka bergaul dengan ibu-ibu, orang bilang: masa kecil kurang bahagia, mainnya sama ibu-ibu melulu. Masih pengen ngempeng kali!

Bila ia suka makan, orang bilang: pastor koq ngga bisa nahan lapar.
Bila ia makan terlalu sedikit, orang bilang: jadi pastor koq ngga tahu menghargai masakan umat.

Bila kotbahnya panjang, orang bilang: bikin ngantuk.
Bila kotbahnya singkat, orang bilang: kurang persiapan.

Bila ia tak pernah dipindah sejak tahbisan, orang bilang: dia memang kurang bisa dipercaya menghadap situasi dan lingkungan baru.
Bila ia dipindah, orang bilang: ada apa ya, koq disuruh pindah sama Pimpinan?

Bila ia tidak merokok, orang bilang: sudah tidak kawin, ngga punya istri, ngga merokok lagi! Mau cari apa dalam hidup ini?!
Pastor... pastor! Pantesan ngga pada mau jadi Pastor!


Pada saat Ia memasuki Yerusalem, Yesus dielu-elukan oleh banyak orang sambil berseru, Hosana! Teberkatilah yang datang atas nama Tuhan. Tetapi semangat rakyat yang meluap itu hanya sebentar saja. Dalam beberapa hari, seruan itu berubah menjadi, Salibkanlah Dia! Sang Imam Agung dipuji dan dihina; dihormati dan direndahkan; ditinggikan dan dijatuhkan! Para imam-Nya juga mengalami nasib yang sama: dicintai dan dibenci; diterima dan ditolak; diperhatikan dan diabaikan. Orang menyebutnya ”kelemahan.” Tetapi ”kelemahan” itulah yang menjadi kekuatannya, seperti kesaksian dari Rasul-Nya yang baik dan setia, Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat. Hanya dengan menyatukan seluruh hidupnya dengan Kristus baru paradoks ini menjadi berarti bagi seorang imam. Jika ia hidup, Kristus akan bersamanya. Jika ia mati, ia akan bersama dengan Kristus! Alangkah indahnya panggilan seorang ”alter Christus!”
(Romo Noel SDB)

Sunday, March 28, 2010

LEPASKANLAH KELEDAIMU

MINGGU PALMA TH.C UPACARA PENYAMBUTAN DAN PERARAKAN Lukas 19:28-40

Ada beberapa detil di dalam Injil yang menjadi menarik jika kita berspekulasi. Contohnya adalah mengenai orang yang empunya keledai dalam bacaan Injil tadi. Bagaimana kalau seandainya dia tidak merelakan keledainya itu untuk diambil dua orang murid yang diutus Yesus? Mungkin masuk-Nya ke kota Yerusalem tidak seperti yang tiap tahun kita melakukan kembali pada awal Pekan Suci! Jadi betapa pun tak dikenal seseorang, tetaplah dia mempunyai peranan dalam rencana Tuhan. Dia “membutuhkan” setiap kita seperti Dia “membutuhkan” pertolongan orang yang empunyai keledai itu. Kita tidak akan pernah tahu siapakah dia, namun bahwasanya dia mengerti “Tuhan” itu adalah Yesus dan dia langsung merelakan keledainya, itu menunjukkan bahwa dia adalah seorang pengikut atau pengagum-Nya. Sebab jika tidak, bisa saja dia menjawab, “Emang Siapa sih ‘Tuhan’ itu yang memerlukan keledaiku?”

Seekor keledai itu sangat berharga pada zaman dahulu. Seekor keledai itu dapat disamakan dengan mobil, truk dan traktor sekaligus. Ia seperti mobil sebab orang-orang memakainya untuk pergi kemana-mana, seperti truk sebab ia dipakai untuk mengangkut barang, dan seperti traktor sebab ia dipakai untuk mengerjakan tanah. Apalagi keledai yang di dalam Injil itu belum pernah ditunggangi orang, berarti sangat mahal harganya di pasar! Jadi melepaskan keledai itu hanya dengan alasan Tuhan memerlukannya adalah suatu pengorbanan yang cukup besar. Itu adalah suatu perbuatan yang sungguh berdasarkan iman dan kemurahan hati.

Sebenarnya setiap kita mempunyai keledai yang Tuhan memerlukan. Kadang kita mempunyai suatu perasaan bahwa Tuhan menghendaki agar kita memberikan sesuatu kepada-Nya namun kita tidak melakukannya sebab kita tidak tahu persis, dan akhirnya kita merasa bersalah sebab kita sudah kehilangan kesempatan. Kadang kita tahu bahwa Tuhan ingin sesuatu tapi kita tidak rela memberikan sebab kita terlalu serakah. Namun kadang kita mendengarkan-Nya dan kita mematuhi-Nya sehingga kita merasa bangga bahwa kita dipakai Tuhan.

Setiap kita mempunyai keledai. Kita mempunyai sesuatu di dalam hidup kita yang dapat kita relakan kepada Tuhan untuk Dia pakai. Mungkin ada yang bisa nyanyi, ada yang bisa berorganisasi, ada yang bisa memimpin, ada yang bisa mendoakan, ada yang bisa mengajar... apa saja lah, itulah keledai kita. Dan sesungguhnya keledai itu adalah milik-Nya! Kata Yesus, jika ada orang bertanya kepadamu: Mengapa kamu melepaskannya? jawablah begini: Tuhan memerlukannya.

Jadi apa nama keledaimu? Tuhan memerlukannya.
(Romo Noel SDB)

Monday, March 22, 2010

DARI KESENGSARAAN KE SUKACITA

MINGGU PRAPASKAH V TH.C Yes 43:16-21 Flp 3:8-14 Yoh 8:1-11

Di Masa Prapaskah yang biasa kita anggap sebagai Masa Liturgi yang khidmat dan “serius,” kita tetaplah bergembira. Pantang, puasa, matiraga dan penitensi... itu semua adalah bagian dari Masa Prapaskah, tetapi tujuannya bukanlah untuk membuat kita bersedih! Sebaliknya, tujuannya adalah supaya nanti kita dapat bersukacita dan bahagia. Maka di dalam Mazmur Tanggapan pun kita nyanyikan, Tuhan telah melakukan perkara besar kepada kita, maka kita bersukacita.

Kata St Tomas Aquino, ”Tak seorangpun dapat hidup tanpa Sukacita. Oleh karena itu, orang yang tidak menemukan sukacita dalam Tuhan mencari kesenangan dalam dunia.” Jika kita tidak menemukan kebahagiaan dalam Tuhan – dalam hal-hal rohani – kita akan mencarinya di tempat-tempat yang lain: entah makanan, penghiburan, seks, drugs, alkohol, judi dan sebagainya! Memang tidak semuanya itu langsung salah, tapi tidak ada satupun dari semuanya itu yang dapat memberikan sukacita yang kekal dan sejati! Apalagi jika disalahgunakan, mereka itu dapat menghancurkan sesama dan juga diri kita sendiri.

Di dalam Injil Minggu ini, kita berjumpa dengan seorang wanita yang mengejar kebahagiaan. Saking inginnya menjadi bahagia, dia rela membahayakan pernikahannya, keluarganya, nama baiknya dan bahkan hidupnya. Tapi dia tidak mendapatkan kebahagiaan itu, mungkin kesenangan pun tidak! Kemungkinan besar laki-laki yang telah menjadi pasangannya dalam dosanya itu pernah mengatakan dia itu cantik sekali, bahwa dia selalu akan mendampinginya, dan bahwa apapun yang terjadi mereka akan tetap bersama. Tetapi saat masalah sudah datang, dia tiba-tiba menghilang. Dan apa yang paling ditakuti wanita itu selama ini telah terjadi... dia tertangkap basah, dan dia sendirian. Takut, malu, bingung, bersalah, tak berdaya... adakah perasaan-perasaan yang lebih parah daripada apa yang dialami oleh wanita itu?

Ia sudah jatuh sengsara dan sungguh melarat. Jalan buntu. Di saat-saat seperti itu, orang mempunyai dua pilihan. Dia bisa tenggelam dalam keputus-asaan dan kesengsaraan – atau menengadah ke langit dan mengulurkan tangan. Wanita itu melihat ke atas, dan ia melihat Yesus. Ia mendengarkan kata-kata-Nya yang memberikan harapan dan kesempatan baru, Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang. Yesus merubah kesengsaraannya menjadi kebahagiaan sejati. Pengalaman wanita itu menunjukkan bahwa sukacita tidak harus tergantung pada situasi atau kondisi diluar. Yang penting adalah kehadiran Tuhan di dalam hati dan di dalam hidup kita.

Kita tidak akan pernah tahu apa yang terjadi selanjutnya dengan wanita itu setelah diselamatkan oleh Yesus. Yang jelas, seandainya dia tidak pernah mengangkat kepalanya, maka dia tidak akan pernah melihat Yesus dan mendengarkan perkataan-Nya yang membawa harapan baru dan sukacita sejati. Dari pengampunan yang telah dia terima atas dosanya yang besar luarbiasa, pastilah dia mengalami sukacita yang besar luarbiasa pula! Betapa banyak pun sampah kedosaan yang menimbun kita dan betapa dalam pun lumpur kesalahan yang mengubur kita saat ini, kita tinggal saja mengangkat kepala dan melihat Yesus dan Dia dapat merubah kesengsaraan kita menjadi sukacita.
(Romo Noel SDB)

Monday, March 15, 2010

SIAPA YANG SEPERTI ALLAH?

MINGGU PRAPASKAH I TH. C Ulangan 26:4-10 Roma 10:8-13 Lukas 4:1-13

Salah satu sumber godaan-godaan kita adalah Iblis, makanya dia itu disebut “Setan,” yang berarti Penggoda. Saya ingat suatu pertunjukan drama waktu masih di seminari tentang seorang pemuda yang ingin berziarah ke Tanah Suci, ke Bethlehem. Iblis tidak mau anak muda itu menyembah Yesus, maka ia mengirim berbagai godaan-godaan! Setiap godaan itu sepertinya makin dahsyat, terutama godaan paling dasar, yakni Kesombongan dan Keangkuhan! Sang Pemuda sepertinya makin tak berdaya. Namun Allah mengirim seorang penolong: Malaikat Agung Santo Mikael datang untuk menyingkirkan Setan. Dia menyaksikan mereka berdua berperang. Akhirnya Mikael mengalahkan Setan... dia menghilang beserta godaan-godaannya! Si Pemuda tinggal sendirian dengan Mikael. Namanya berarti, “Siapa yang seperti Allah?”

Hari ini Yesus mengajar kita bagaimana caranya menghadapi godaan-godaan Iblis. Memang Yesus adalah Tuhan, namun Ia adalah Allah yang menjelma menjadi Manusia, sama dengan kita dalam segala hal kecuali dosa! Sebagai Manusia Ia telah mengalami dan merasakan secara penuh godaan-godaan dari Iblis. Oleh karena itu kita bisa belajar dari cara-Nya menghadapi dan mengalahkan godaan.

Kepada tiap godaan Yesus menjawab dengan memuliakan Allah. Manusia hidup bukan dari roti saja (Luk 4:4) tetapi dari setiap Sabda Allah. Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti (Luk 4:8). Jangan engkau mencobai Tuhan, Allahmu (Luk 4:12). Maksudnya jangan sembarangan melakukan sesuatu yang jelas-jelas membahayakan dirimu sambil memikirkan bahwa APAPUN yang terjadi, “no problemo,” sebab Allah itu ada di tanganmu! Salah! Allah adalah Allah. Kamu ada di tangan-Nya, bukan sebaliknya! Dia bukan Robotmu atau mainanmu yang bisa kamu kontrol semaunya kamu. Tuhan Allah itu di atas segalanya. Siapa yang seperti Allah?

Bila godaan-godaan datang, Yesus menunjukkan apa yang harus kita lakukan: memuliakan Allah. Iblis itu tidak tahan jika kita memuliakan Allah. Dia itu bagaikan artis yang tak begitu dikenal, kemudian dia paling kesal jika pujian-pujian itu ditujukan kepada artis saingannya! Jadi apabila Setan menggodai kamu, janganlah menghadapinya secara langsung. Kamu bukan Yesus. Kamu tidak mungkin mengalahkan Pangeran Kebohongan dalam debat atau argumentasi hanya dengan kekuasaanmu saja. Lakukanlah Tanda Salib. Sebutkanlah nama-nama kudus: Yesus, Maria dan Yoseph. Pujilah Tuhan. Muliakanlah Allah dan Setan itu pasti kabur. Siapa yang seperti Allah?
(Romo Noel, SDB)

MELIHAT MISTERI SEKILAS

MINGGU PRAPASKAH II TH. C Kej 15:5-12, 17-18 Flp 3:17-4:1 Luk 9:28b-36

Seorang ibu muda tidak bisa menerima kehamilannya dan ingin menggugurkan bayi dalam kandungannya namun tetap dia melakukan ultrasound. Dia melihat bayangan bayinya itu di layar monitor, bentuk tubuhnya yang sempurna lengkap dengan lengan tangan dan kaki kecil. Beberapa dokter menyatakan bahwa 75% wanita yang melihat ultrasound itu memutuskan untuk melahirkan bayinya, tapi 25% tidak. Sepertinya wanita ini termasuk yang 25% itu sebab dia tetap mengatakan, “Tidak, tidak, saya tidak menginginkan bayi ini.”

Tiba-tiba dokternya berkata, “Coba ulurkan tangan kamu dan sentuhlah tangan bayimu.” Sudah terlambat waktu dia menyadari kekonyolan kata-katanya itu dan dia jadi agak malu. Tapi wanita itu mengulurkan tangannya ke arah layar monitor. Sungguh aneh dan luarbiasa, tangan kecil bayi itu bergerak. Di layar monitor, tangannya yang mungil itu menyentuh jari-jari ibunya!

Akhirnya dia mau memelihara bayinya.

Wanita itu melihat misteri dan keajaiban bayinya itu sekilas. Sesungguhnya ada misteri di dalam diri kita masing-masing: misteri citra Allah. Sungguh indahlah bila kita mencari dan memandang citra Allah itu di dalam setiap orang. Mungkin selama ini kita hanyalah memandang orang lain sebagai “alat” ataupun “beban.” Tapi entah dengan cara yang ajaib dan tak terduga, tiba-tiba Tuhan memperlihatkan kepada kita sekilas nilai dan harga yang sebenarnya setiap orang!

Pada tiap Minggu Prapaskah II kita selalu membacakan Injil tentang perubahan rupa Yesus di hadapan para rasul yang terpilih. Yesus membawa mereka ke Yerusalem, dimana mereka akan meninggalkan-Nya karena malu dan takut akan orang-orang yang menyiksa dan akhirnya membunuh-Nya. Namun dalam perjalanan, Dia akan membawa mereka ke sebuah gunung dimana rupa wajah-Nya berubah dan pakaian-Nya menjadi putih berkilau-kilauan. Mereka memandang sekilas, hanyalah sekilas, siapakah Yesus sebenarnya! Peristiwa itulah yang akan menjadi pegangan mereka di saat-saat susah.

Sesungguhnya Tuhan dapat menampakkan Dirinya secara langsung seperti Perubahan Rupa Yesus itu di gunung Tabor – atau melalui ultrasound bayi seperti pengalaman wanita muda itu! Tetapi kita harus mempersiapkan hati kita. Yesus meluangkan cukup banyak waktu untuk mengajar dan membimbing para rasul, terutama Petrus, Yohanes dan Yakobus. Dengan demikian mereka siap untuk peristiwa yang luar biasa itu. Kita juga butuh meluangkan waktu untuk Tuhan – melalui Doa dan perhatian akan Sabda-Nya – agar kita makin terbuka untuk menerima-Nya. Maka kita pun dapat memandang sekilas, biar hanya sekilas, Misteri Yesus – atau Misteri citra Allah di dalam setiap orang.
(Romo Noel, SDB)

BILA MUSIBAH DATANG

MINGGU PRAPASKAH III TH. C Kel. 3:1-8a, 13-15 1Kor. 10:1-6,10-12 Luk. 13:1-9

Bayangkan 2000 tahun yang lalu di zaman Yesus sudah ada surat-kabar, dan pada suatu hari, ada dua berita utama di halaman pertama koran itu sebagai berikut: “Pembunuhan Besar-Besaran Teroris-teroris Tersangka dari Galilea di Bait Suci Atas Perintah Pilatus,” “Menara Siloam Runtuh, 18 Orang Diduga Terkubur.” Bagaimana reaksi pertama dari rakyat Yahudi terhadap berita bencana dan kemalangan seperti itu? Tentang orang-orang Galilea itu barangkali mereka berpikir, “Nah, pantaslah itu terjadi kepada mereka. Dasar orang-orang teroris!” Mengenai orang-orang yang mati secara tragis terkubur di bawah menara yang hancur itu, mungkin mereka berkomentar, “Itu adalah kehendak Tuhan. Hanya Dialah yang tahu dosa-dosa apa mereka yang membuat mereka pantas diadili seperti itu!”

Di dalam Injil, orang-orang Yahudi yang menghadap Yesus memang tidak luput dari sikap “sok tau” dan “sok suci!” Mereka juga tidak bebas dari prasangka dan kecenderungan untuk menghakimi sesama. Yesus tidak bisa diam di hadapan kedunguan dan keangkuhan seperti itu: Sangkamu orang-orang Galilea ini lebih besar dosanya dari pada dosa semua orang Galilea yang lain, karena mereka mengalami nasib itu? Tidak! kata-Ku kepadamu. Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian. Atau sangkamu kedelapan belas orang, yang mati ditimpa menara dekat Siloam, lebih besar kesalahannya dari pada kesalahan semua orang lain yang diam di Yerusalem? Tidak! kata-Ku kepadamu. Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian (Lukas 13:2-5).

Suatu kekeliruan besar jika kita secara mutlak mengkaitkan bencana alam atau kemalangan yang kerap-kali dialami oleh manusia, dengan dosa-dosanya! Seolah-olah si korban itu telah melakukan sesuatu yang membuatnya “pantas” mengalami musibah tersebut, sedangkan yang lain “aman-aman saja” sebab mereka adalah orang-orang yang benar dan “dekat” pada Tuhan! Jika orang mengalami bencana alam atau suatu kemalangan, kita tidak boleh berpikir bahwa orang itu layak mengalaminya karena suatu perbuatan yang tidak kita lakukan sehingga kita tidak mengalaminya.

Sikap yang benar adalah menyadari bahwa itu dapat terjadi kepada siapapun, dan apabila kita sendiri tidak mengalaminya saat ini, itu adalah karena kebaikan dan belaskasih Tuhan dan sama sekali bukan karena kita berhak mendapatnya! Semoga tidak ada lagi gempa, banjir besar atau pesawat yang jatuh, namun jika seandainya ia datang lagi, kita mesti sadari bahwa hal itu dapat terjadi kepada siapapun, dan apabila kita terhindar dari musibah tersebut, itu adalah supaya kita sendiri bertobat dan memperoleh keselamatan. (Romo Noel, SDB)

KEADILAN ATAU BELAS-KASIH

MINGGU PRAPASKAH IV TH.C Yos 5:9a,10-12 II Kor 5:17-21 Lukas 15:1-3,11-32

Di suatu kelas Bina Iman Anak-anak, setelah menceritakan dan menjelaskan perumpamaan tentang Anak yang Hilang, guru agama bertanya kepada anak-anak, “Nah sekarang menurut anak-anak, dari ceritera tadi, siapakah yang benar-benar paling menderita?” Seorang murid mengangkat tangannya dan menjawab, “Anak lembuh tambun yang disembelih dan dimakan.” Anak yang pinter. Tentu saja! Tapi menurut saya, setelah anak lembuh tambun itu, yang paling kasihan ialah si anak sulung yang bersikeras tetap diluar rumah dan tidak mau ikut pesta! Gara-gara keangkuhannya itu, dia pun gagal menikmati steak yang dihidangkan. Semuanya itu disebabkan sikapnya yang begitu terobsesi dengan keadilan dan kewajaran sehingga gagal menerima sikap ayahnya yang rela memaafkan dan melupakan!

Banyak orang mengalami kesulitan untuk menerima hikmah dari perumpamaan Yesus itu. Ada yang merasa si Bapak itu terlalu murah-hati. Dimana kah keadilan, hukuman, disiplin dan “bayar”? Ia memaafkan anaknya yang jahat itu “begitu saja.” Memang pikiran manusia tidak sama dengan pikiran Tuhan. Namun jika kita bijaksana, kita pasti akan merindukan belas-kasih-Nya yang sebenarnya justru dibicarakan Yesus dalam perumpamaan itu. Kita pernah mengalami belas-kasih Tuhan dan kita selalu membutuhkan pengampunan-Nya. Kalau soal Dosa, kita seperti anak yang hilang itu, sedangkan kalau soal Keampunan, kita mestinya menjadi seperti ayah (atau ibu) yang baik itu.
Memang memaafkan orang yang pernah menyakiti kita itu lebih sulit daripada berpuasa, berpantang atau pergi ke gereja. Tapi kita harus sadar bahwa keampunan itu berdasarkan bukanlah pada perasaan atau emosi, melainkan pada suatu keputusan yang kita ambil, termasuk di saat kita sedang marah besar. Keampunan datang dari kehendak. Mungkin saja kita merasa tidak tulus saat memaafkan orang. Sebab kita begitu mudah menilai diri kita berdasarkan perasaan daripada keputusan yang kita buat. Namun bila kita dapat mengucapkan “Saya memaafkan” dan juga mendoakan orang itu yang telah melukai kita, kita sungguh memaafkan.

Keampunan yang sejati itu tidak tergantung apakah orang yang menyakiti kita itu meminta maaf atau tidak. Bahkan bisa saja keampunan kita itu ditolak. Kita tidak mengampuni supaya dapat sesuatu sebagai imbalan. Itu bisa saja terjadi, atau sama sekali tidak. Keampunan itu kita berikan sebab itulah yang baik dan yang benar yang harus dilakukan; itulah yang diperintahkan Yesus kepada kita... saling mengampuni.
Keampunan berarti mengambil resiko untuk disakiti lagi. Dan memang yang paling sulit adalah jika masih ada perasaan terluka, bahkan dendam dan kesebalan yang tetap muncul setelah kita sudah mengampuni. Perjuangan itu adalah bagian dari proses penyembuhan luka kita. Keampunan berarti memilih untuk menaruh kasih kepada seorang yang sepertinya tidak pantas menerimanya. Jadi keampunan bukanlah soal keadilan melainkan belas-kasih.

Berbuat dosa dan kesalahan itu manusiawi; berbelas-kasih dan mengampuni itu ilahi. Hanyalah dengan rahmat Tuhan kita sanggup. Dia menawarkan keampunan dan belas-kasih-Nya kepada kita agar kita dapat membagikannya kepada yang lain. Terserah kepada kita mau menerimanya atau kita bersikeras tetap diluar rumah. (Romo Noel SDB)