Monday, March 15, 2010

KEADILAN ATAU BELAS-KASIH

MINGGU PRAPASKAH IV TH.C Yos 5:9a,10-12 II Kor 5:17-21 Lukas 15:1-3,11-32

Di suatu kelas Bina Iman Anak-anak, setelah menceritakan dan menjelaskan perumpamaan tentang Anak yang Hilang, guru agama bertanya kepada anak-anak, “Nah sekarang menurut anak-anak, dari ceritera tadi, siapakah yang benar-benar paling menderita?” Seorang murid mengangkat tangannya dan menjawab, “Anak lembuh tambun yang disembelih dan dimakan.” Anak yang pinter. Tentu saja! Tapi menurut saya, setelah anak lembuh tambun itu, yang paling kasihan ialah si anak sulung yang bersikeras tetap diluar rumah dan tidak mau ikut pesta! Gara-gara keangkuhannya itu, dia pun gagal menikmati steak yang dihidangkan. Semuanya itu disebabkan sikapnya yang begitu terobsesi dengan keadilan dan kewajaran sehingga gagal menerima sikap ayahnya yang rela memaafkan dan melupakan!

Banyak orang mengalami kesulitan untuk menerima hikmah dari perumpamaan Yesus itu. Ada yang merasa si Bapak itu terlalu murah-hati. Dimana kah keadilan, hukuman, disiplin dan “bayar”? Ia memaafkan anaknya yang jahat itu “begitu saja.” Memang pikiran manusia tidak sama dengan pikiran Tuhan. Namun jika kita bijaksana, kita pasti akan merindukan belas-kasih-Nya yang sebenarnya justru dibicarakan Yesus dalam perumpamaan itu. Kita pernah mengalami belas-kasih Tuhan dan kita selalu membutuhkan pengampunan-Nya. Kalau soal Dosa, kita seperti anak yang hilang itu, sedangkan kalau soal Keampunan, kita mestinya menjadi seperti ayah (atau ibu) yang baik itu.
Memang memaafkan orang yang pernah menyakiti kita itu lebih sulit daripada berpuasa, berpantang atau pergi ke gereja. Tapi kita harus sadar bahwa keampunan itu berdasarkan bukanlah pada perasaan atau emosi, melainkan pada suatu keputusan yang kita ambil, termasuk di saat kita sedang marah besar. Keampunan datang dari kehendak. Mungkin saja kita merasa tidak tulus saat memaafkan orang. Sebab kita begitu mudah menilai diri kita berdasarkan perasaan daripada keputusan yang kita buat. Namun bila kita dapat mengucapkan “Saya memaafkan” dan juga mendoakan orang itu yang telah melukai kita, kita sungguh memaafkan.

Keampunan yang sejati itu tidak tergantung apakah orang yang menyakiti kita itu meminta maaf atau tidak. Bahkan bisa saja keampunan kita itu ditolak. Kita tidak mengampuni supaya dapat sesuatu sebagai imbalan. Itu bisa saja terjadi, atau sama sekali tidak. Keampunan itu kita berikan sebab itulah yang baik dan yang benar yang harus dilakukan; itulah yang diperintahkan Yesus kepada kita... saling mengampuni.
Keampunan berarti mengambil resiko untuk disakiti lagi. Dan memang yang paling sulit adalah jika masih ada perasaan terluka, bahkan dendam dan kesebalan yang tetap muncul setelah kita sudah mengampuni. Perjuangan itu adalah bagian dari proses penyembuhan luka kita. Keampunan berarti memilih untuk menaruh kasih kepada seorang yang sepertinya tidak pantas menerimanya. Jadi keampunan bukanlah soal keadilan melainkan belas-kasih.

Berbuat dosa dan kesalahan itu manusiawi; berbelas-kasih dan mengampuni itu ilahi. Hanyalah dengan rahmat Tuhan kita sanggup. Dia menawarkan keampunan dan belas-kasih-Nya kepada kita agar kita dapat membagikannya kepada yang lain. Terserah kepada kita mau menerimanya atau kita bersikeras tetap diluar rumah. (Romo Noel SDB)

No comments:

Post a Comment