Saturday, August 7, 2010

LALU?

HARI MINGGU BIASA XIX TH. C Kebijaksanaan 18:6-9 Ibrani 11:1-2, 8-19 Lukas 12:35-40

“Saya punya rencana yang mantap untuk menjatuhkan manusia,” kata satu iblis kepada rekannya yang lebih senior. “Rencana saya adalah meyakinkannya bahwa Allah itu tidak ada.” Rekannya menjawab, “Itu mah lagu lama, tapi kurang efektif. Sekarang cukup bagi mahkluk itu melihat segala ciptaan di sekitar dan alam semesta dan ia pasti sadar Allah itu ada.” “Kalau begitu,” iblis yunior melanjutkan, “saya akan meyakinkannya bahwa tidak ada iblis.” “Mungkin itu lebih bagus sebagai strategi,” kata seniornya sambil menganggukkan kepala, “tapi percayalah, cukup bagi manusia itu melihat serta mengalami kejahatan sesama manusia dan pasti dia sadar akan keberadaan kita! Begini, saya kasih tahu strategi yang paling mantap...” dan para iblis yang lain pun mendekat supaya mendengarkan tips dari senior yang berpengalaman itu. “Kamu tidak perlu buang tenaga meyakinkan manusia itu bahwa tidak ada Allah atau pun iblis. Yakinkanlah dia saja bahwa ‘masih banyak waktu’ dan tak usah buru-buru!”

Jelas bahwa inilah strategi yang paling sering dipakai iblis untuk menjatuhkan manusia. Mayoritas orang masih percaya bahwa ada Allah yang Maha Pencipta; juga kebanyakan orang percaya akan iblis dan setan. Yang seringkali menjadi keberatan bagi manusia moderen adalah menerima bahwa ada hidup kekal setelah hidup duniawi! Manusia seringkali bertingkah seolah-olah masih banyak waktu, tak usah buru-buru, dan tak perlu mencemaskan kemanakah kita setelah meninggalkan dunia ini!

Maka Yesus mau merombak “kenyamanan” kita itu. Dan Dia menggunakan suatu ilustrasi yang sangat berani dan orisinil, khususnya bagi para kontemporer-Nya. Yesus menyamakan Allah itu kepada seorang Pencuri! Si perampok itu pasti selalu menunggu sampai orang-orang sedang tidak berjaga-jaga. Ia beraksi pas di tengah malam, di saat yang tidak disangkakan.

Sungguh Kristus bisa datang kapan saja. Dan bahwasanya Dia bisa datang seperti pencuri seharusnya membuat kita merenung, namun bukan dengan cemas apalagi terobsesi. Itu mengingatkan kita agar jangan sampai segala rencana kita itu berdasarkan hanya pada dunia ini saja! Seorang pemuda yang ambisius berkata kepada gurunya yang tua tapi bijaksana, “Saya ingin memperoleh banyak ilmu dan pengetahuan.” “Lalu?” sahut orang tua itu. “Lalu saya akan buka perusahaan.” “Lalu?” “Saya yakin saya akan jadi kaya-raya.” “Lalu?” “Ya jelas saya akan jadi tua juga tapi saya bisa menikmati dulu segala hasil usaha saya!” “Lalu?” “Hmm saya kira ya suatu saat saya juga akan meninggal dunia.” “Lalu?” Saat itu si pemuda tidak bisa jawab apa-apa lagi. Orang yang membuat banyak rencana berdasarkan hanya pada dunia ini saja suatu saat akan dikagetkan dengan Kematian.

Jadi merancang masa depan yang makmur dan merencanakan hari esok yang sejahtera itu boleh saja, asal jangan berdasarkan hanya pada dunia ini saja! Kita harus berani melihat lebih jauh lagi, “Lalu?” Dan seperti si pemazmur itu, Jiwa kita menanti-nantikan TUHAN. Dialah penolong kita dan perisai kita (Mazmur 33:20). Romo Noel SDB

Thursday, August 5, 2010

australasia

austraLasia #2686

New Pentecost in Surabaya

SURABAYA: 4 August 2010 -- "I'm proud of you!" That about sums up the feelings and sentiments of Fr Noel Villafuerte, parish priest of St. Michael, Tanjung Perak Surabaya, during the Confirmation Mass for some 47 parishioners last Sunday. St Michael's Parish, together with Blitar, in Surabaya, East Java, is the newest Salesian presence in Indonesia. On 18 April of this year, the Bishop officially installed Fr Noel as the parish priest, and St Michael's became the second Salesian parish in Indonesia, the first being S. John Bosco in Jakarta. From the solemn Mass, presided over by Bishop Vincent Sutikno, himself a son of the 49 year old parish and a self-confessed admirer of Don Bosco since childhood, to the simple but familiar reception in the parish multi-purpose hall, the well-coordinated activities went smoothly. In spite of the interrupted catechetical preparations being given by Fr Noel, as he had to be away for some 20 days to preach the annual retreat of the confreres in the Delegation of PNG-SI, the remaining three sessions of instructions were ably handled by some of the senior parish catechists.
Worth noting was the dialogue and open forum that the committee organized especially for the Bishop and the confirmands. Talk-shows in the celebrity world are the in-thing nowadays, and it was just creative of the organizers to provide this forum for the newly confirmed parishioners to ask the Bishop about "anything under the sun!", so from such topics as the practical meaning of being prophet, priest and king to even curious queries like the difference between our confirmation and the baptism of the Holy Spirit of the charismatics, the talk-show - aptly titled, An Hour With Our Bishop - indeed made the day.

Tuesday, August 3, 2010

MENJADI KAYA

MINGGU BIASA KE-XVIII TH. C Pengkotbah 1:2, 2:21-23 Kolose 3:1-5, 9-11 Lukas 12:13-21

Saya pernah mendapatkan sebuah kartu ucapan selamat hari ulang tahun dengan tulisan dari kitab Mazmur 90:12, “Sadarkanlah kami akan singkatnya hidup ini supaya kami menjadi orang yang berbudi.” Memang kalau saja kita menyadari setiap saat bahwa kapan-kapan kita harus meninggalkan dunia ini, dan bahwa ini bukanlah rumah kita yang sebenarnya, maka seperti si Pengkotbah itu, kita juga akan semakin yakin, Kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia.

Ayat tadi itu menyimpulkan tema bacaan-bacaan Minggu ini. Kesia-siaan dan kepura-puraan... itulah inti dari kehidupan sebenarnya. Mengetahui banyak hal, memiliki banyak harta, menjadi orang yang baik dan hebat... sesungguhnya tak ada faedahnya bagi manusia. Waktu dan kehidupan itu tetaplah berjalan, baik kita ada disini maupun kita tak ada lagi. Kesia-siaan itu bagaikan asap atau angin – menghilang begitu saja. Tak ada sesuatu pun sesungguhnya yang berharga atau penting. Orang bisa berusaha keras seumur hidupnya tapi setelah dia mati, semua hasil dan keuntungan bisa saja dinikmati orang lain yang sama sekali tidak pantas mendapatkannya.

Kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia. Dengan kata lain, “Kamu tidak bisa membawa apapun dengan kamu!” Ada seorang kaya-raya yang sungguh memahami kebenaran itu sehingga pada usia tuanya, sebelum ia meninggal, dia berpesan kepada anak-anak serta keluarganya, “Nanti saya ingin peti jenazah saya ada lubang di sebelah kanan dan kiri, dan kedua tangan saya dikeluarkan!” Tentu saja keluarganya begitu kaget mendengarkan permintaan yang aneh itu, maka ia menjelaskan, “Saya ingin supaya semua orang yang datang ke upacara pemakaman melihat bahwa saya yang begitu kaya selama saya hidup di dunia ini ternyata meninggalkannya dengan tangan kosong! Saya tidak bisa membawa apapun.”

Kamu tidak bisa membawa apapun dengan kamu, kecuali apa yang kamu telah rela bagikan. Injil Santo Lukas menekankan betapa pentingnya memilih yang terbaik, seperti Maria memilih untuk duduk di kaki Yesus dan mendengarkan-Nya sedangkan Martha memilih untuk sibuk melayani. Jadi ini bukan sekedar soal bahayanya harta duniawi melainkan bagaimana orang dapat memilih antara menjadi kaya di hadapan dunia atau menjadi kaya di hadapan Tuhan. Kita semua mempunyai harta yang kita hargai, entah berdasarkan perasaan, nilai materi atau pun sejarah. Masalahnya adalah bukan apa yang kita miliki, melainkan apa yang memiliki kita.

Orang bodoh di dalam perumpamaan Yesus merasa dirinya puas dan sukses, seolah-olah semuanya itu dari usaha tangannya sendiri, padahal panenan berlimpah itu adalah dari tanah. Dia sedang bersiap-siap untuk menikmati hidup yang santai dan makmur. Mungkin dia berpikir, tetangga-tetangganya akan lebih respek padanya, karena ekspansi bisnisnya luarbiasa dan nomor rekeningnya terus bertambah. Sampai dia lupa tentang kerapuhan hidupnya. Sepertinya dia bukan orang yang suka berbagi, apalagi memberi, maka jelaslah dia tidak bisa membawa apa-apa. Yang penting bagi orang ini adalah dirinya sendiri dan kenyamanannya. Perumpamaan ini tidak menceriterakan apakah orang bodoh itu kemudian ke surga atau ke neraka. Tujuannya ialah untuk mengingatkan kita bahwa hidup ini pendek dan rapuh, sehingga menjadi kaya pun itu adalah sia-sia bila kita tidak kaya di mata Tuhan.