Tuesday, August 3, 2010

MENJADI KAYA

MINGGU BIASA KE-XVIII TH. C Pengkotbah 1:2, 2:21-23 Kolose 3:1-5, 9-11 Lukas 12:13-21

Saya pernah mendapatkan sebuah kartu ucapan selamat hari ulang tahun dengan tulisan dari kitab Mazmur 90:12, “Sadarkanlah kami akan singkatnya hidup ini supaya kami menjadi orang yang berbudi.” Memang kalau saja kita menyadari setiap saat bahwa kapan-kapan kita harus meninggalkan dunia ini, dan bahwa ini bukanlah rumah kita yang sebenarnya, maka seperti si Pengkotbah itu, kita juga akan semakin yakin, Kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia.

Ayat tadi itu menyimpulkan tema bacaan-bacaan Minggu ini. Kesia-siaan dan kepura-puraan... itulah inti dari kehidupan sebenarnya. Mengetahui banyak hal, memiliki banyak harta, menjadi orang yang baik dan hebat... sesungguhnya tak ada faedahnya bagi manusia. Waktu dan kehidupan itu tetaplah berjalan, baik kita ada disini maupun kita tak ada lagi. Kesia-siaan itu bagaikan asap atau angin – menghilang begitu saja. Tak ada sesuatu pun sesungguhnya yang berharga atau penting. Orang bisa berusaha keras seumur hidupnya tapi setelah dia mati, semua hasil dan keuntungan bisa saja dinikmati orang lain yang sama sekali tidak pantas mendapatkannya.

Kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia. Dengan kata lain, “Kamu tidak bisa membawa apapun dengan kamu!” Ada seorang kaya-raya yang sungguh memahami kebenaran itu sehingga pada usia tuanya, sebelum ia meninggal, dia berpesan kepada anak-anak serta keluarganya, “Nanti saya ingin peti jenazah saya ada lubang di sebelah kanan dan kiri, dan kedua tangan saya dikeluarkan!” Tentu saja keluarganya begitu kaget mendengarkan permintaan yang aneh itu, maka ia menjelaskan, “Saya ingin supaya semua orang yang datang ke upacara pemakaman melihat bahwa saya yang begitu kaya selama saya hidup di dunia ini ternyata meninggalkannya dengan tangan kosong! Saya tidak bisa membawa apapun.”

Kamu tidak bisa membawa apapun dengan kamu, kecuali apa yang kamu telah rela bagikan. Injil Santo Lukas menekankan betapa pentingnya memilih yang terbaik, seperti Maria memilih untuk duduk di kaki Yesus dan mendengarkan-Nya sedangkan Martha memilih untuk sibuk melayani. Jadi ini bukan sekedar soal bahayanya harta duniawi melainkan bagaimana orang dapat memilih antara menjadi kaya di hadapan dunia atau menjadi kaya di hadapan Tuhan. Kita semua mempunyai harta yang kita hargai, entah berdasarkan perasaan, nilai materi atau pun sejarah. Masalahnya adalah bukan apa yang kita miliki, melainkan apa yang memiliki kita.

Orang bodoh di dalam perumpamaan Yesus merasa dirinya puas dan sukses, seolah-olah semuanya itu dari usaha tangannya sendiri, padahal panenan berlimpah itu adalah dari tanah. Dia sedang bersiap-siap untuk menikmati hidup yang santai dan makmur. Mungkin dia berpikir, tetangga-tetangganya akan lebih respek padanya, karena ekspansi bisnisnya luarbiasa dan nomor rekeningnya terus bertambah. Sampai dia lupa tentang kerapuhan hidupnya. Sepertinya dia bukan orang yang suka berbagi, apalagi memberi, maka jelaslah dia tidak bisa membawa apa-apa. Yang penting bagi orang ini adalah dirinya sendiri dan kenyamanannya. Perumpamaan ini tidak menceriterakan apakah orang bodoh itu kemudian ke surga atau ke neraka. Tujuannya ialah untuk mengingatkan kita bahwa hidup ini pendek dan rapuh, sehingga menjadi kaya pun itu adalah sia-sia bila kita tidak kaya di mata Tuhan.

No comments:

Post a Comment