Wednesday, March 31, 2010

ORANG BILANG PASTOR

Pernah dengar Litani Pastor yang serba-salah?

Bila ia ditahbiskan terlalu muda, orang bilang: masih bocah koq sudah disuruh jadi pastor.
Bila ia ditahbiskan sudah tua, orang bilang: dia jadi pastor kan karena ngga laku kawin.

Bila ia cukup ganteng, orang bilang: bego amat tuh cowok! Cakep-cakep koq jadi pastor. Kenapa ngga kawin aja ya. Gue juga mau lho sama kamu?!
Bila wajah tidak mendukung, orang bilang: memang lebih baik jadi pastor aja, daripada frustasi tidak ada yang mau.

Bila ia rapih berpakaian bagus, orang bilang: pastor koq seperti peragawan.
Bila ia berpakaian seadanya, orang bilang: sering tampil di muka umum koq ngga bisa ngurus badan.

Bila ia naik mobil, orang bilang: pastor tak menghayati kaul kemiskinan.
Bila ia jalan kaki ngga mau naik kendaraan, orang bilang: pastor koq tidak menghargai waktu.

Bila ia banyak bergaul dengan cewek-cewek, orang bilang: sudah tahu jadi pastor koq ya masih suka nyrempet-nyrempet bahaya.
Bila ia banyak bergaul dengan cowok-cowok, orang bilang: mentang-mentang jadi pastor lalu anti-wanita. Mungkinkah pastor kita gay?!

Bila ia suka bergaul dengan anak-anak, orang bilang: wah baik-baik sama anak kecil biar bisa mendekati ibu dan kakaknya.
Bila ia suka bergaul dengan ibu-ibu, orang bilang: masa kecil kurang bahagia, mainnya sama ibu-ibu melulu. Masih pengen ngempeng kali!

Bila ia suka makan, orang bilang: pastor koq ngga bisa nahan lapar.
Bila ia makan terlalu sedikit, orang bilang: jadi pastor koq ngga tahu menghargai masakan umat.

Bila kotbahnya panjang, orang bilang: bikin ngantuk.
Bila kotbahnya singkat, orang bilang: kurang persiapan.

Bila ia tak pernah dipindah sejak tahbisan, orang bilang: dia memang kurang bisa dipercaya menghadap situasi dan lingkungan baru.
Bila ia dipindah, orang bilang: ada apa ya, koq disuruh pindah sama Pimpinan?

Bila ia tidak merokok, orang bilang: sudah tidak kawin, ngga punya istri, ngga merokok lagi! Mau cari apa dalam hidup ini?!
Pastor... pastor! Pantesan ngga pada mau jadi Pastor!


Pada saat Ia memasuki Yerusalem, Yesus dielu-elukan oleh banyak orang sambil berseru, Hosana! Teberkatilah yang datang atas nama Tuhan. Tetapi semangat rakyat yang meluap itu hanya sebentar saja. Dalam beberapa hari, seruan itu berubah menjadi, Salibkanlah Dia! Sang Imam Agung dipuji dan dihina; dihormati dan direndahkan; ditinggikan dan dijatuhkan! Para imam-Nya juga mengalami nasib yang sama: dicintai dan dibenci; diterima dan ditolak; diperhatikan dan diabaikan. Orang menyebutnya ”kelemahan.” Tetapi ”kelemahan” itulah yang menjadi kekuatannya, seperti kesaksian dari Rasul-Nya yang baik dan setia, Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat. Hanya dengan menyatukan seluruh hidupnya dengan Kristus baru paradoks ini menjadi berarti bagi seorang imam. Jika ia hidup, Kristus akan bersamanya. Jika ia mati, ia akan bersama dengan Kristus! Alangkah indahnya panggilan seorang ”alter Christus!”
(Romo Noel SDB)

Sunday, March 28, 2010

LEPASKANLAH KELEDAIMU

MINGGU PALMA TH.C UPACARA PENYAMBUTAN DAN PERARAKAN Lukas 19:28-40

Ada beberapa detil di dalam Injil yang menjadi menarik jika kita berspekulasi. Contohnya adalah mengenai orang yang empunya keledai dalam bacaan Injil tadi. Bagaimana kalau seandainya dia tidak merelakan keledainya itu untuk diambil dua orang murid yang diutus Yesus? Mungkin masuk-Nya ke kota Yerusalem tidak seperti yang tiap tahun kita melakukan kembali pada awal Pekan Suci! Jadi betapa pun tak dikenal seseorang, tetaplah dia mempunyai peranan dalam rencana Tuhan. Dia “membutuhkan” setiap kita seperti Dia “membutuhkan” pertolongan orang yang empunyai keledai itu. Kita tidak akan pernah tahu siapakah dia, namun bahwasanya dia mengerti “Tuhan” itu adalah Yesus dan dia langsung merelakan keledainya, itu menunjukkan bahwa dia adalah seorang pengikut atau pengagum-Nya. Sebab jika tidak, bisa saja dia menjawab, “Emang Siapa sih ‘Tuhan’ itu yang memerlukan keledaiku?”

Seekor keledai itu sangat berharga pada zaman dahulu. Seekor keledai itu dapat disamakan dengan mobil, truk dan traktor sekaligus. Ia seperti mobil sebab orang-orang memakainya untuk pergi kemana-mana, seperti truk sebab ia dipakai untuk mengangkut barang, dan seperti traktor sebab ia dipakai untuk mengerjakan tanah. Apalagi keledai yang di dalam Injil itu belum pernah ditunggangi orang, berarti sangat mahal harganya di pasar! Jadi melepaskan keledai itu hanya dengan alasan Tuhan memerlukannya adalah suatu pengorbanan yang cukup besar. Itu adalah suatu perbuatan yang sungguh berdasarkan iman dan kemurahan hati.

Sebenarnya setiap kita mempunyai keledai yang Tuhan memerlukan. Kadang kita mempunyai suatu perasaan bahwa Tuhan menghendaki agar kita memberikan sesuatu kepada-Nya namun kita tidak melakukannya sebab kita tidak tahu persis, dan akhirnya kita merasa bersalah sebab kita sudah kehilangan kesempatan. Kadang kita tahu bahwa Tuhan ingin sesuatu tapi kita tidak rela memberikan sebab kita terlalu serakah. Namun kadang kita mendengarkan-Nya dan kita mematuhi-Nya sehingga kita merasa bangga bahwa kita dipakai Tuhan.

Setiap kita mempunyai keledai. Kita mempunyai sesuatu di dalam hidup kita yang dapat kita relakan kepada Tuhan untuk Dia pakai. Mungkin ada yang bisa nyanyi, ada yang bisa berorganisasi, ada yang bisa memimpin, ada yang bisa mendoakan, ada yang bisa mengajar... apa saja lah, itulah keledai kita. Dan sesungguhnya keledai itu adalah milik-Nya! Kata Yesus, jika ada orang bertanya kepadamu: Mengapa kamu melepaskannya? jawablah begini: Tuhan memerlukannya.

Jadi apa nama keledaimu? Tuhan memerlukannya.
(Romo Noel SDB)

Monday, March 22, 2010

DARI KESENGSARAAN KE SUKACITA

MINGGU PRAPASKAH V TH.C Yes 43:16-21 Flp 3:8-14 Yoh 8:1-11

Di Masa Prapaskah yang biasa kita anggap sebagai Masa Liturgi yang khidmat dan “serius,” kita tetaplah bergembira. Pantang, puasa, matiraga dan penitensi... itu semua adalah bagian dari Masa Prapaskah, tetapi tujuannya bukanlah untuk membuat kita bersedih! Sebaliknya, tujuannya adalah supaya nanti kita dapat bersukacita dan bahagia. Maka di dalam Mazmur Tanggapan pun kita nyanyikan, Tuhan telah melakukan perkara besar kepada kita, maka kita bersukacita.

Kata St Tomas Aquino, ”Tak seorangpun dapat hidup tanpa Sukacita. Oleh karena itu, orang yang tidak menemukan sukacita dalam Tuhan mencari kesenangan dalam dunia.” Jika kita tidak menemukan kebahagiaan dalam Tuhan – dalam hal-hal rohani – kita akan mencarinya di tempat-tempat yang lain: entah makanan, penghiburan, seks, drugs, alkohol, judi dan sebagainya! Memang tidak semuanya itu langsung salah, tapi tidak ada satupun dari semuanya itu yang dapat memberikan sukacita yang kekal dan sejati! Apalagi jika disalahgunakan, mereka itu dapat menghancurkan sesama dan juga diri kita sendiri.

Di dalam Injil Minggu ini, kita berjumpa dengan seorang wanita yang mengejar kebahagiaan. Saking inginnya menjadi bahagia, dia rela membahayakan pernikahannya, keluarganya, nama baiknya dan bahkan hidupnya. Tapi dia tidak mendapatkan kebahagiaan itu, mungkin kesenangan pun tidak! Kemungkinan besar laki-laki yang telah menjadi pasangannya dalam dosanya itu pernah mengatakan dia itu cantik sekali, bahwa dia selalu akan mendampinginya, dan bahwa apapun yang terjadi mereka akan tetap bersama. Tetapi saat masalah sudah datang, dia tiba-tiba menghilang. Dan apa yang paling ditakuti wanita itu selama ini telah terjadi... dia tertangkap basah, dan dia sendirian. Takut, malu, bingung, bersalah, tak berdaya... adakah perasaan-perasaan yang lebih parah daripada apa yang dialami oleh wanita itu?

Ia sudah jatuh sengsara dan sungguh melarat. Jalan buntu. Di saat-saat seperti itu, orang mempunyai dua pilihan. Dia bisa tenggelam dalam keputus-asaan dan kesengsaraan – atau menengadah ke langit dan mengulurkan tangan. Wanita itu melihat ke atas, dan ia melihat Yesus. Ia mendengarkan kata-kata-Nya yang memberikan harapan dan kesempatan baru, Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang. Yesus merubah kesengsaraannya menjadi kebahagiaan sejati. Pengalaman wanita itu menunjukkan bahwa sukacita tidak harus tergantung pada situasi atau kondisi diluar. Yang penting adalah kehadiran Tuhan di dalam hati dan di dalam hidup kita.

Kita tidak akan pernah tahu apa yang terjadi selanjutnya dengan wanita itu setelah diselamatkan oleh Yesus. Yang jelas, seandainya dia tidak pernah mengangkat kepalanya, maka dia tidak akan pernah melihat Yesus dan mendengarkan perkataan-Nya yang membawa harapan baru dan sukacita sejati. Dari pengampunan yang telah dia terima atas dosanya yang besar luarbiasa, pastilah dia mengalami sukacita yang besar luarbiasa pula! Betapa banyak pun sampah kedosaan yang menimbun kita dan betapa dalam pun lumpur kesalahan yang mengubur kita saat ini, kita tinggal saja mengangkat kepala dan melihat Yesus dan Dia dapat merubah kesengsaraan kita menjadi sukacita.
(Romo Noel SDB)

Monday, March 15, 2010

SIAPA YANG SEPERTI ALLAH?

MINGGU PRAPASKAH I TH. C Ulangan 26:4-10 Roma 10:8-13 Lukas 4:1-13

Salah satu sumber godaan-godaan kita adalah Iblis, makanya dia itu disebut “Setan,” yang berarti Penggoda. Saya ingat suatu pertunjukan drama waktu masih di seminari tentang seorang pemuda yang ingin berziarah ke Tanah Suci, ke Bethlehem. Iblis tidak mau anak muda itu menyembah Yesus, maka ia mengirim berbagai godaan-godaan! Setiap godaan itu sepertinya makin dahsyat, terutama godaan paling dasar, yakni Kesombongan dan Keangkuhan! Sang Pemuda sepertinya makin tak berdaya. Namun Allah mengirim seorang penolong: Malaikat Agung Santo Mikael datang untuk menyingkirkan Setan. Dia menyaksikan mereka berdua berperang. Akhirnya Mikael mengalahkan Setan... dia menghilang beserta godaan-godaannya! Si Pemuda tinggal sendirian dengan Mikael. Namanya berarti, “Siapa yang seperti Allah?”

Hari ini Yesus mengajar kita bagaimana caranya menghadapi godaan-godaan Iblis. Memang Yesus adalah Tuhan, namun Ia adalah Allah yang menjelma menjadi Manusia, sama dengan kita dalam segala hal kecuali dosa! Sebagai Manusia Ia telah mengalami dan merasakan secara penuh godaan-godaan dari Iblis. Oleh karena itu kita bisa belajar dari cara-Nya menghadapi dan mengalahkan godaan.

Kepada tiap godaan Yesus menjawab dengan memuliakan Allah. Manusia hidup bukan dari roti saja (Luk 4:4) tetapi dari setiap Sabda Allah. Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti (Luk 4:8). Jangan engkau mencobai Tuhan, Allahmu (Luk 4:12). Maksudnya jangan sembarangan melakukan sesuatu yang jelas-jelas membahayakan dirimu sambil memikirkan bahwa APAPUN yang terjadi, “no problemo,” sebab Allah itu ada di tanganmu! Salah! Allah adalah Allah. Kamu ada di tangan-Nya, bukan sebaliknya! Dia bukan Robotmu atau mainanmu yang bisa kamu kontrol semaunya kamu. Tuhan Allah itu di atas segalanya. Siapa yang seperti Allah?

Bila godaan-godaan datang, Yesus menunjukkan apa yang harus kita lakukan: memuliakan Allah. Iblis itu tidak tahan jika kita memuliakan Allah. Dia itu bagaikan artis yang tak begitu dikenal, kemudian dia paling kesal jika pujian-pujian itu ditujukan kepada artis saingannya! Jadi apabila Setan menggodai kamu, janganlah menghadapinya secara langsung. Kamu bukan Yesus. Kamu tidak mungkin mengalahkan Pangeran Kebohongan dalam debat atau argumentasi hanya dengan kekuasaanmu saja. Lakukanlah Tanda Salib. Sebutkanlah nama-nama kudus: Yesus, Maria dan Yoseph. Pujilah Tuhan. Muliakanlah Allah dan Setan itu pasti kabur. Siapa yang seperti Allah?
(Romo Noel, SDB)

MELIHAT MISTERI SEKILAS

MINGGU PRAPASKAH II TH. C Kej 15:5-12, 17-18 Flp 3:17-4:1 Luk 9:28b-36

Seorang ibu muda tidak bisa menerima kehamilannya dan ingin menggugurkan bayi dalam kandungannya namun tetap dia melakukan ultrasound. Dia melihat bayangan bayinya itu di layar monitor, bentuk tubuhnya yang sempurna lengkap dengan lengan tangan dan kaki kecil. Beberapa dokter menyatakan bahwa 75% wanita yang melihat ultrasound itu memutuskan untuk melahirkan bayinya, tapi 25% tidak. Sepertinya wanita ini termasuk yang 25% itu sebab dia tetap mengatakan, “Tidak, tidak, saya tidak menginginkan bayi ini.”

Tiba-tiba dokternya berkata, “Coba ulurkan tangan kamu dan sentuhlah tangan bayimu.” Sudah terlambat waktu dia menyadari kekonyolan kata-katanya itu dan dia jadi agak malu. Tapi wanita itu mengulurkan tangannya ke arah layar monitor. Sungguh aneh dan luarbiasa, tangan kecil bayi itu bergerak. Di layar monitor, tangannya yang mungil itu menyentuh jari-jari ibunya!

Akhirnya dia mau memelihara bayinya.

Wanita itu melihat misteri dan keajaiban bayinya itu sekilas. Sesungguhnya ada misteri di dalam diri kita masing-masing: misteri citra Allah. Sungguh indahlah bila kita mencari dan memandang citra Allah itu di dalam setiap orang. Mungkin selama ini kita hanyalah memandang orang lain sebagai “alat” ataupun “beban.” Tapi entah dengan cara yang ajaib dan tak terduga, tiba-tiba Tuhan memperlihatkan kepada kita sekilas nilai dan harga yang sebenarnya setiap orang!

Pada tiap Minggu Prapaskah II kita selalu membacakan Injil tentang perubahan rupa Yesus di hadapan para rasul yang terpilih. Yesus membawa mereka ke Yerusalem, dimana mereka akan meninggalkan-Nya karena malu dan takut akan orang-orang yang menyiksa dan akhirnya membunuh-Nya. Namun dalam perjalanan, Dia akan membawa mereka ke sebuah gunung dimana rupa wajah-Nya berubah dan pakaian-Nya menjadi putih berkilau-kilauan. Mereka memandang sekilas, hanyalah sekilas, siapakah Yesus sebenarnya! Peristiwa itulah yang akan menjadi pegangan mereka di saat-saat susah.

Sesungguhnya Tuhan dapat menampakkan Dirinya secara langsung seperti Perubahan Rupa Yesus itu di gunung Tabor – atau melalui ultrasound bayi seperti pengalaman wanita muda itu! Tetapi kita harus mempersiapkan hati kita. Yesus meluangkan cukup banyak waktu untuk mengajar dan membimbing para rasul, terutama Petrus, Yohanes dan Yakobus. Dengan demikian mereka siap untuk peristiwa yang luar biasa itu. Kita juga butuh meluangkan waktu untuk Tuhan – melalui Doa dan perhatian akan Sabda-Nya – agar kita makin terbuka untuk menerima-Nya. Maka kita pun dapat memandang sekilas, biar hanya sekilas, Misteri Yesus – atau Misteri citra Allah di dalam setiap orang.
(Romo Noel, SDB)

BILA MUSIBAH DATANG

MINGGU PRAPASKAH III TH. C Kel. 3:1-8a, 13-15 1Kor. 10:1-6,10-12 Luk. 13:1-9

Bayangkan 2000 tahun yang lalu di zaman Yesus sudah ada surat-kabar, dan pada suatu hari, ada dua berita utama di halaman pertama koran itu sebagai berikut: “Pembunuhan Besar-Besaran Teroris-teroris Tersangka dari Galilea di Bait Suci Atas Perintah Pilatus,” “Menara Siloam Runtuh, 18 Orang Diduga Terkubur.” Bagaimana reaksi pertama dari rakyat Yahudi terhadap berita bencana dan kemalangan seperti itu? Tentang orang-orang Galilea itu barangkali mereka berpikir, “Nah, pantaslah itu terjadi kepada mereka. Dasar orang-orang teroris!” Mengenai orang-orang yang mati secara tragis terkubur di bawah menara yang hancur itu, mungkin mereka berkomentar, “Itu adalah kehendak Tuhan. Hanya Dialah yang tahu dosa-dosa apa mereka yang membuat mereka pantas diadili seperti itu!”

Di dalam Injil, orang-orang Yahudi yang menghadap Yesus memang tidak luput dari sikap “sok tau” dan “sok suci!” Mereka juga tidak bebas dari prasangka dan kecenderungan untuk menghakimi sesama. Yesus tidak bisa diam di hadapan kedunguan dan keangkuhan seperti itu: Sangkamu orang-orang Galilea ini lebih besar dosanya dari pada dosa semua orang Galilea yang lain, karena mereka mengalami nasib itu? Tidak! kata-Ku kepadamu. Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian. Atau sangkamu kedelapan belas orang, yang mati ditimpa menara dekat Siloam, lebih besar kesalahannya dari pada kesalahan semua orang lain yang diam di Yerusalem? Tidak! kata-Ku kepadamu. Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian (Lukas 13:2-5).

Suatu kekeliruan besar jika kita secara mutlak mengkaitkan bencana alam atau kemalangan yang kerap-kali dialami oleh manusia, dengan dosa-dosanya! Seolah-olah si korban itu telah melakukan sesuatu yang membuatnya “pantas” mengalami musibah tersebut, sedangkan yang lain “aman-aman saja” sebab mereka adalah orang-orang yang benar dan “dekat” pada Tuhan! Jika orang mengalami bencana alam atau suatu kemalangan, kita tidak boleh berpikir bahwa orang itu layak mengalaminya karena suatu perbuatan yang tidak kita lakukan sehingga kita tidak mengalaminya.

Sikap yang benar adalah menyadari bahwa itu dapat terjadi kepada siapapun, dan apabila kita sendiri tidak mengalaminya saat ini, itu adalah karena kebaikan dan belaskasih Tuhan dan sama sekali bukan karena kita berhak mendapatnya! Semoga tidak ada lagi gempa, banjir besar atau pesawat yang jatuh, namun jika seandainya ia datang lagi, kita mesti sadari bahwa hal itu dapat terjadi kepada siapapun, dan apabila kita terhindar dari musibah tersebut, itu adalah supaya kita sendiri bertobat dan memperoleh keselamatan. (Romo Noel, SDB)

KEADILAN ATAU BELAS-KASIH

MINGGU PRAPASKAH IV TH.C Yos 5:9a,10-12 II Kor 5:17-21 Lukas 15:1-3,11-32

Di suatu kelas Bina Iman Anak-anak, setelah menceritakan dan menjelaskan perumpamaan tentang Anak yang Hilang, guru agama bertanya kepada anak-anak, “Nah sekarang menurut anak-anak, dari ceritera tadi, siapakah yang benar-benar paling menderita?” Seorang murid mengangkat tangannya dan menjawab, “Anak lembuh tambun yang disembelih dan dimakan.” Anak yang pinter. Tentu saja! Tapi menurut saya, setelah anak lembuh tambun itu, yang paling kasihan ialah si anak sulung yang bersikeras tetap diluar rumah dan tidak mau ikut pesta! Gara-gara keangkuhannya itu, dia pun gagal menikmati steak yang dihidangkan. Semuanya itu disebabkan sikapnya yang begitu terobsesi dengan keadilan dan kewajaran sehingga gagal menerima sikap ayahnya yang rela memaafkan dan melupakan!

Banyak orang mengalami kesulitan untuk menerima hikmah dari perumpamaan Yesus itu. Ada yang merasa si Bapak itu terlalu murah-hati. Dimana kah keadilan, hukuman, disiplin dan “bayar”? Ia memaafkan anaknya yang jahat itu “begitu saja.” Memang pikiran manusia tidak sama dengan pikiran Tuhan. Namun jika kita bijaksana, kita pasti akan merindukan belas-kasih-Nya yang sebenarnya justru dibicarakan Yesus dalam perumpamaan itu. Kita pernah mengalami belas-kasih Tuhan dan kita selalu membutuhkan pengampunan-Nya. Kalau soal Dosa, kita seperti anak yang hilang itu, sedangkan kalau soal Keampunan, kita mestinya menjadi seperti ayah (atau ibu) yang baik itu.
Memang memaafkan orang yang pernah menyakiti kita itu lebih sulit daripada berpuasa, berpantang atau pergi ke gereja. Tapi kita harus sadar bahwa keampunan itu berdasarkan bukanlah pada perasaan atau emosi, melainkan pada suatu keputusan yang kita ambil, termasuk di saat kita sedang marah besar. Keampunan datang dari kehendak. Mungkin saja kita merasa tidak tulus saat memaafkan orang. Sebab kita begitu mudah menilai diri kita berdasarkan perasaan daripada keputusan yang kita buat. Namun bila kita dapat mengucapkan “Saya memaafkan” dan juga mendoakan orang itu yang telah melukai kita, kita sungguh memaafkan.

Keampunan yang sejati itu tidak tergantung apakah orang yang menyakiti kita itu meminta maaf atau tidak. Bahkan bisa saja keampunan kita itu ditolak. Kita tidak mengampuni supaya dapat sesuatu sebagai imbalan. Itu bisa saja terjadi, atau sama sekali tidak. Keampunan itu kita berikan sebab itulah yang baik dan yang benar yang harus dilakukan; itulah yang diperintahkan Yesus kepada kita... saling mengampuni.
Keampunan berarti mengambil resiko untuk disakiti lagi. Dan memang yang paling sulit adalah jika masih ada perasaan terluka, bahkan dendam dan kesebalan yang tetap muncul setelah kita sudah mengampuni. Perjuangan itu adalah bagian dari proses penyembuhan luka kita. Keampunan berarti memilih untuk menaruh kasih kepada seorang yang sepertinya tidak pantas menerimanya. Jadi keampunan bukanlah soal keadilan melainkan belas-kasih.

Berbuat dosa dan kesalahan itu manusiawi; berbelas-kasih dan mengampuni itu ilahi. Hanyalah dengan rahmat Tuhan kita sanggup. Dia menawarkan keampunan dan belas-kasih-Nya kepada kita agar kita dapat membagikannya kepada yang lain. Terserah kepada kita mau menerimanya atau kita bersikeras tetap diluar rumah. (Romo Noel SDB)