Sunday, November 28, 2010

KEHENINGAN YANG MEMBANGUNKAN

MINGGU ADVEN I TH. A Yesaya 2:1-5 Roma 13:11-14a Matius 24:37-44

Saya pernah dengar sebuah kesaksian dari seorang pemudi, Crystalina, yang mengalami pertobatan sejati dengan meninggalkan hidup yang lama dan kembali kepada Kristus. Di saat remaja, hobi dan kesukaannya adalah berpesta. Nah pesta disini yang bermaksud music, food and fun. No problemo. Masalahnya adalah kadang-kadang yang namanya pesta itu bisa kehilangan kendali. Ada saat-saat Crystalina pulang dari pesta merasa sedih, hampa, dimanfaatkan – bahkan kotor! Pada suatu saat, setelah salah satu pesta, dia tidak langsung pulang. Entah bagaimana, dia tiba-tiba ingin mampir ke gereja, dan dalam kesunyian dan keheningan itulah, Tuhan berbicara kepadanya. Dia mengambil keputusan untuk merubah gaya hidupnya.

Kemudian dia melakukan sesuatu yang agak aneh. Dia menulis surat kepada calon suaminya. Sesuatu yang aneh memang karena pada saat itu, dia belum berpacaran secara serius, apalagi bertunangan! Walaupun Crystalina belum mengetahui siapakah yang akan menjadi suaminya nanti, dia yakin bahwa – setelah Tuhan – pria itu akan menjadi orang yang paling penting dalam hidupnya! Kemudian ia mulai berdoa untuk dia, terutama di dalam Misa. Ia mulai mengikuti Misa harian dan bahkan ia dapat mengikuti sekitar seribu kali Misa dengan intensi mendoakan calon suaminya! Waktu ia berumur 24tahun, ia berkenalan dengan seorang pemuda, Jason Evert. Mereka jatuh cinta dan pada saat tunangan mereka, Crystalina menceritakan pada Jason soal seribu Misa itu. Pada saat itu Jason dapat mengerti dari manakah rahmat yang telah memeliharanya sehingga dia sanggup menghadapi tiap godaan selama itu. Jason dan Crystalina akhirnya menikah dan mempunyai beberapa anak. Mereka menjadi full-time dalam pelayanan, khususnya dengan memberi ceramah dan kesaksian kepada anak-anak muda tentang kesucian dan kemurnian.

Crystalina berjumpa dengan Yesus di saat hening. Yesus berbicara kepadanya dalam kesunyian di gereja itu. Pada Masa Adven ini sangat pentinglah kita menemukan waktu untuk hening. Kita tahu bagaimana masa persiapan ini cenderung menjadi saat-saat yang paling sibuk! Begitu banyak gangguan dan godaan dari iklan-iklan yang mengajak kita untuk beli ini-itu. Dunia ini sudah begitu berisik sehingga kita tidak bisa dengar Tuhan! Satu trick yang saya belajar sebagai seorang guru untuk menarik perhatian murid-murid yang sedang asyik berisik dan ngobrol adalah diam sejenak. Anak-anak tiba-tiba merasa ada sesuatu yang tidak beres, dan mereka kembali tenang. Keheningan itu telah “membangunkan” mereka! Sesuatu yang sama seperti itu harus terjadi kepada kita pada Masa Adven ini.

Kita butuh keheningan untuk bangun, dan berhenti berjalan dalam tidur. Kita butuh keheningan, terutama kesunyian di hadapan Sakramen Mahakudus; disitulah kita dapat berjumpa dengan Tuhan, bukan dalam pesta pora dan kemabukan... percabulan dan hawa nafsu... atau perselisihan dan iri hati.
(Romo Noel SDB)

Tuesday, November 23, 2010

Read the Pope's Condom Comments

Bishop Urges Faithful to Go to the Source, Not to Trust the Media

The bishop of Fargo is encouraging the faithful to not trust the media to interpret the words of Benedict XVI for them, and to read for themselves what the Pope has to say about condoms.

Bishop Samuel Aquila made these statements today in response to the flurry of reports over the weekend that suggested the Holy Father approved the use of condoms in some cases.

L'Osservatore Romano, the Vatican's semi-official newspaper, spurred the media activity Saturday when it published several excerpts from the book-interview with Benedict XVI titled "Light of the World," which is scheduled to be released Tuesday by Ignatius Press.

At the end of the tenth chapter of the book, the writer, German journalist Peter Seewald, asked the Pontiff two questions on the fight against AIDS and the use of condoms. Seewald referenced the Holy Father's comments on this topic while aboard the papal plane on the way to Cameroon and Angola in March, 2009.

To the charge that it's "madness to forbid a high-risk population to use condoms," Benedict XVI replied: "There may be a basis in the case of some individuals, as perhaps when a male prostitute uses a condom, where this can be a first step in the direction of a moralization, a first assumption of responsibility, on the way toward recovering an awareness that not everything is allowed and that one cannot do whatever one wants. But it is not really the way to deal with the evil of HIV infection. That can really lie only in a humanization of sexuality."

Seewald then asked the Pontiff, "Are you saying, then, that the Catholic Church is actually not opposed in principle to the use of condoms?"

The Holy Father replied, "She of course does not regard it as a real or moral solution, but, in this or that case, there can be nonetheless, in the intention of reducing the risk of infection, a first step in a movement toward a different way, a more human way, of living sexuality."

Bishop Aquila noted that the Church "has always celebrated the truth and beauty of human sexuality," and that an "unchanging part of that celebration throughout history is the Church's teaching that sexual expression must be open to life [... and] that sexual union within a marriage is between one man and one woman."

"Despite recent news articles which falsely construe the words of Benedict XVI to suggest otherwise," he added, "that teaching has not changed in any way."
No shift

"At issue here are the words of Pope Benedict XVI regarding condom use," the bishop continued. "The news stories and some of the comments solicited from the public would interpret his words as proclaiming a shift in the Catholic Church's teaching on condom use, and contraception in general. [...]

"This conclusion is incorrect as can be easily seen by examining the actual text from the book. The Holy Father is not condoning the use of condoms, but making an observation regarding the awakening of a sense of responsibility in the people who are caught up in the habitual sin of prostitution.

"He does not offer a new moral evaluation of the use of condoms, neither in principle nor practically in this circumstance, but is merely describing a psychological development as one, even in the grip of sin, can begin to acknowledge the safety and human dignity of another."

Bishop Aquila then urged the faithful and "all people of good will to
read the entire book."

"Do not depend on the media for your understanding of what Benedict XVI states," he said, "rather go to the source in order to find truth and not someone's misunderstanding and false interpretation of what was actually stated."

FARGO, North Dakota, NOV. 22, 2010 (Zenit.org)

Saturday, November 6, 2010

Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub

MINGGU BIASA KE-XXXII TH.C 2Mak 7:1-2, 9-14 2Tes 2:16-3:5 Lukas 20:27-38

Sekali lagi Yesus dihadapkan pada suatu masalah yang sepertinya tak ada solusi. Suatu kelompok Yahudi yang radikal, yakni orang-orang Saduki, datang kepada Yesus, sebenarnya bukan untuk membicarakan soal pernikahan, tetapi untuk mengemukakan keyakinan mereka yang bertantangan dengan ajaran Yesus mengenai kebangkitan dan hidup yang kekal. Mereka mengutip Nabi Musa untuk memperkuat posisi mereka melawan Yesus. Tapi Yesus menanggapi mereka dengan mengingatkan bahwa dalam perjumpaan itu dengan semak duri, Musa telah menyebut “Ya Allah,” yakni Allah dari tiga orang yang merupakan fondasi dari sejarah Israel, Abraham, Ishak dan Yakub. Allah itu bukan Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup (Luk 20:38). Kita bisa menaruh kepercayaan penuh kepada Allah sebab Dia bukan hanya Allah yang hidup tetapi juga Allah yang peduli dan bertindak.

Allah Abraham, Ishak dan Yakub. Sesungguhnya kata-kata itu memberi suatu wawasan yang begitu indah dan berdaya mengenai Allah. Dia bukanlah abstrak atau mujarad, seperti awan-gemawan mengambang di langit! Bukan, Allah peduli pada kita manusia dan sungguh terlibat dalam sejarah kita. Allah Abraham, Ishak dan Yakub. Itulah dasar utama dari harapan kita akan suatu Hidup di masa depan.

Seharusnya kenyataan ini dapat meneguhkan kepercayaan dan keyakinan kita di dalam segala kegagalan dan keputus-asaan yang sering kita alami. Waktu Columbus menyeberangi Samudera Atlantik, awak kapalnya sudah mau menyerah dan siap untuk balik! Pagi-pagi, mereka mendengar suatu seruan yang merubah segalanya, “Tanah! Tanah!” Apabila kita mau menyerah saja karena merasa gagal dan tidak sanggup lagi, kita perlu berseru pada satu sama lain dan pada hati kita, “Surga! Surga!” Tidak lama lagi. Maka setiap pencobaan atau pengorbanan pun menjadi sesuatu yang kecil!

Ada orang yang menganggap sikap ini seperti sifat mengalah, yaitu daripada berusaha untuk memperbaiki situasi di dunia ini, orang menghabiskan waktu dan menghibur diri dengan memikirkan tentang surga! Tapi kalau kita melihat sejarah, sebenarnya mereka yang memikirkan hidup surgawi itu biasanya juga adalah mereka yang melakukan banyak kebaikan terhadap sesama manusia di dunia ini. Sebut saja Fransiskus dari Asisi, Vinsensius A Paolo, Don Bosco, Mother Theresa, Sri Paus Yohanes Paulus II dan masih banyak lagi. Dimana-mana, rumah sakit, sekolah dan lembaga-lembaga yang paling menolong begitu banyak orang itu adalah mereka yang didirikan oleh orang-orang yang hidup sehari-hari berpengharapan pada hidup yang kekal.

Kita bisa percaya kepada Allah sebab Dia adalah Allah yang hidup, yang bertindak dan peduli dengan setiap kita. Dialah Allah Abraham, Ishak dan Yakub... dan kita.
(Romo Noel SDB)